![]() |
Sumber foto: www.globalgiving.org |
Bagian 3
Cagar Alam Sipirok (CAS II) salah satu kawasan hutan konservasi yang dihuni Orangutan. Kehadiran hewan dilindungi ini membuat dunia internasional meningkatkan perhatian ke CAS II dengan melibatkan NGo (non-goverment organization) sebagai agen pengawas.
Kawasan CAS II, menurut catatan BKSDA Sumatra Utara, dihuni sejumlah fauna langka yang dilindungi dan masuk daftar IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) seperti Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatraensis), Kijang (Muntiacus muntjak), Siamang (Hylobates tab), Imbo (Hylobates sindactylus), Enggang (Fuceros licornis), berbagai jenis murai, cucak, dan poksay yang diminati para hobbis.
Masyarakat Desa Ramba Sihasur tahu persis di mana bisa menemukan fauna-fauna langka di dalam kawasan . Setiap bagian dari kawasan itu merupakan habitat tersendiri dari ragam fauna tersebut, dan masyarakat mengetahui dengan pasti cara menemukannya di dalam kawasan.
Ketika rombongan peneliti orangutan datang dan meminta bantuan masyarakat mendampingi mereka memasuki kawasan, masyarakat Desa Ramba Sihasur tidak kesulitan memenuhi keinginan para peneliti orangutan tersebut. Tapi, saat mendampingi para peneliti, mereka sebatas mengenali jejak-jejak orangutan berupa bekas sarang yang dibangun di dahan-dahan pohon paling tinggi di dalam hutan.
Teknik yang dipakai para peneliti orangutan acap dilakukan para peneliti untuk mengestimasi populasi atau tingkat kepadatan fauna di sebuah titik amatan. Pasalnya, sarang orangutan lebih mudah dihitung dibanding hewannya sendiri dan dapat terlihat dalam jangka waktu yang cukup lama, serta kurang berfluktuasi pada suatu lokasi tertentu. Metode ini memungkinkan dilakukan di CAS II untuk memperoleh hasil yang akurat untuk mengestimasi kepadatan orangutan sumatera.
Jalur yang dipilih untuk melakukan pengamatan berada di sebelah Timur kawasan. Jalur itu merupakan siklus mencari makan orangutan yang berputar dari kawasan Hutan Batangtoru, dan jalur itu banyak ditumbuhi tanaman hutan yang berbuah. Di jalur lintasan itu pula orangutan dilepasliarkan pada 23 November 2020 lalu agar bisa bertemu kembali dengan kawanannya, disamping bisa menemukan pakan alami di dalam hutan.
Sehari sebelum dilepasliarkan, orangutan tersebut memasuki pemukiman penduduk di Dusun Padang Bulan, Desa Marsada, Kecamatan Sipirok. BBKSDA Sumatera Utara bekerjasama dengan YOSL dan OIC, bergerak ke lokasi dan memutuskan menembak bius orangutan tersebut. Orangutan itu diperkirakan berumur 35 tahun, berat 63 kg, kondisi sehat dan layak untuk dilepasliarkan.
Orangutan Tapanuli termasuk satwa liar dilindungi sesuai Peraturan Permerintah No. 7 Tahun 1999 dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi. Sedangkan menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), orangutan termasuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah (Critically endangered).
Mendengar cerita Amin Siregar, kami yakin tak akan menemukan titik pelepasliaran orangutan itu karena jalur yang dipilih berada di sebelah Barat kawasan. Tidak ada masalah soal itu, karena kedatangan ke CAS II tidak ada kaitannya dengan orangutan. Rombongan ekspedisi untuk menelusuri jejak sejarah peradaban manusia era kejayaan benzoin--sejenis resin yang dihasilkan pohon haminjon (Styrax sumatrana) dan kapur (Cinnamomun campora).
Dua jenis pohon ini bisa ditemukan di kawasan, sisa dari budidaya oleh masyarakat yang menjadikan lahan kawasan itu sebagai tanah ulayatnya. Jauh sebelum areal itu ditetapkan pemerintah kolonial Belanda sebagai Hutan Lindung Register 10, lahan kawasan merupakan tanah ulayat yang dipergunakan masyarakat sebagai lahan berusaha, baik berburu maupun budidaya tanaman.
Namun, sejak ditetapkan sebagai Register 10, masyarakat tidak lagi membudidayakan haminjon di dalam hutan. Tradisi yang diwariskan leluhur masyarakat itu, perlahan-lahan ditinggalkan karena tidak ada lagi lahan untuk budidaya. Sementara kebun haminjon yang pernah ada, semakin lama semakin tidak terpelihara, apalagi setelah Menteri Pertanian mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 226/Kpts/Um/4/1982 tanggal 8 April 1982 yang meningkatkan status Register 10 menjadi Cagar Alam Sipirok (CAS II).
Baca: Ekspedisi Haminjon ke Cagar Alam Sipirok: Lahan Berburu Burung Langka
CAS II memiliki luas 6.970 hektare, merupakan tipe vegetasi hutan hujan tropika dengan kontur tanah berbukit-bukit, dan suhu di bawah 30 derajat Celsius. Selain haminjon dan kapur, lahan ini ditumbuhi pohon jenis pinus khas Tapanuli, Antur mangan (Casuarina sumatrana), Sampinur bunga (Podocarpus imbricatus), Sampinur tali (Dacridius junghunii), hayu alim atau sejenis gaharu (pohon yang berasal dari genus Aquilaria) dan memiliki nilai jual tinggi sebagai komoditas perdagangan. Pohon lain yang punya nilai jual tinggi di dalam kawasan adalah meranti merah (Shorea leprosula M).
Pohon haminjon, kapur, dan gaharu telah dikenal masyarakat Desa Ramba Sihasur maupun masyarakat Dusun Hopong sejak lama sebagai jenis tanaman penghasil komoditas perdagangan yang punya nilai jual tinggi. Ketika rombongan memasuki kawasan, beberapa kali kami bertemu dengan tegakan pohon dari tiga jenis tanaman tersebut.
Diameter batang bervariasi, sebagian besar masih di bawah 50 cm, dan ini merupakan pohon-pohon generasi baru. Penemuan ini menunjukkan, kawasan merupakan habitat dari tiga jenis pohon penghasil resin ini. Dia tumbuh kokoh dan menjulang tinggi di kemiringan 30 derajat, ketinggian di bawah 1.000 meter di atas permukaan laut.
Tahun 2010, sekolompok pemuda yang tergabung dalam Masyarakat Pelajar Sipirok (MAPAS) menggelar kegiatan Ekspedisi Meraba Sipirok (EMAS), dan ekspedisi itu menjadi gelaran tahun. Pada tahun 2013, EMAS III digelar mengunjungi Situs Arkeologi Hopong, memungut jejak sejarah masyarakat marga yang menjadi raja panusunan bulung (raja pembuka perkampungan) di daerah itu dan menemukan keterkaitannya masyarakat tersebut dengan masyarakat di Kecamatan Sipirok.
EMAS III diikuti sekitar 14 orang pemuda-pemudi asal Kecamatan Sipirok, menempuh jalur melintasi CAS II. Rombogan ekspedisi tahun 2013 ini juga masuk dari Desa Ramba Sihasur. Amin Siregar mengaku sebagai penunjuk jalan waktu itu, tapi dia menyadari pengalaman tahun 2013 itu tidak akan banyak membantu, karena jalur yang dilalui sudah berbeda akibat perubahan penutupan lahan hutan begitu cepat.
Saat tiba di kanopi kawasan CAS II, tidak banyak pohon yang tinggi. Tapi, ketika masuk lebih ke dalam, kami menemukan banyak tanaman muda, pohon-pohon berdiameter 10 cm sampai 30 cm yang menjulang menutupi langit.
Pintu masuk menuju kawasan bukan hanya dari Desa Ramba Sihasur, tetapi ada banyak pintu masuk. Selain dari Desa Ramba Sihasur, bisa juga masuk ke dalam kawasan melalui Desa Marsada, lewat daerah Aek Latong, persisnya di sebelah Barat. Pada bagian Barat kawasan ini, kondisi CAS II tidak sealami di bagian Timur. Pasalnya, sebagian wilayah kawasan telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian, terutama setelah masyarakat marga Siregar asal Kelurahan Sipirok Godang--yaitu masyarakat yang merupakan pemilik hak ulayat atas kawasan--memanfaatkan hak ulayatnya dengan menggelar gotong royong merambah CAS II pada tahun 2010.
Masyarakat Kelurahan Sipirok Godang mengubah kawasan menjadi perkebunan kopi arabika. Pembukaan kawasan menjadi kebun rakyat itu memicu munculnya tradisi marsoban, yaitu tradisi mencari kayu bakar ke dalam kawasan yang berlangsung sekali setahun di lingkungan masyarakat di berbagai desa di Kecamatan Sipirok. Tradisi turun-temurun ini diwarisi masyarakat dari leluhur, digelar secara bersama-sama dan dalam kelompok-kelompok kecil.
Mereka masuk ke dalam kawasan yang disebut kawasan rintis untuk mencari pohon-pohon tua yang tumbang dan mengambil kayunya. Belakangan, tradisi marsoban ini mempunyai andil merusak habitat flora dan fauna di dalam kawasan, karena masyarakat sering bertindak berlebihan dengan menebangi pohon-pohon yang masih produktif.
Sebagai tanah ulayat masyarakat marga Siregar asal Kelurahan Sipirok Godang, kawasan CAS II pada awalnya dikelola dalam konsep Dalihan Na Tolu. Artinya, sebagian lahan tanah ulayat itu diserahkan masyarakat marga Siregar kepada anak borunya, yakni masyarakat marga Pane dan masyarakat marga Hutasuhut, untuk dikelola dan dimanfaatkan.
Masyarakat marga Hutasuhut yang tinggal di Kelurahan Hutasuhut, perkampungan yang sejarahnya merupakan pemberian dari masyarakat marga Siregar kepada marga Hutasuhut, mendapat jatah tanah dari marga Siregar di dalam kawasan CAS II. Lahan tanah ulayat seluas sekitar 100 hektare itu terletak di lokasi Nagurguran, sebuah dataran di dalam kawasan CAS II, yang kemudian oleh mayarakat marga Hutasuhut dibuka dan ditanami dengan karet (hapea).
Pada masa perang kemerdekaan Republik Indonesia, pada dekade 1940-an, sebagian besar penduduk Kelurahan Hutasuhut memiliki kebun karet bersama di Nagurguran. Di daerah ini, mereka bisa tinggal selama berbulan-bulan untuk mengelola kebun karet, dan biasanya dilakukan oleh kaum laki-laki yang sudah berumah tangga.
Namun, perkebunan karet itu sudah lama ditinggal. Pada akhir dekade 1990-an, generasi muda masyarakat marga Hutasuhut pernah mencoba menggarap ulang kebun karet yang menjadi hak ulayat mereka. Tapi, jarak yang terlalu jauh dan mensyarakatkan harus menginap di dalam kawasan, membuat rencana itu batal dengan sendirinya.
Selain dari wilayah Barat, pintu masuk menuju kawasan CAS II bisa juga dari arah Tenggara, yakni di sekitar Desa Aek Batang Paya atau Desa Luat Lombang. Ada juga pintu masuk di arah Selatan, yaitu melalui Kecamatan Arse dan Kecamatan Saipar Dolok Hole. Belum lagi pintu masuk dari arah Utara, yakni dari desa-desa di Kecamatan Simangumban, Kabupaten Tapanuli Utara, yang berbatasan langsung dengan kawasan.
Kondisi kawasan dari pintu masuk Desa Ramba Sihasur relatif masih terjaga dibandingkan pintu masuk dari daerah lain. Keterjagaan kondisi kawasan inilah yang membuat rombongan kami memilih jalur masuk Desa Ramba Sihasur, selain disebabkan jalur masuk ini bisa langsung bersentuhan dengan tujuan ekspedisi melacak jejek peradaban manusia yang ditopang komoditas haminjon.
Pilihan jalur ini beresiko besar membuat perjalanan kami melambat karena harus mencari-cari jalur lintasan. Jalur lama yang pernah dilewati pada 2013 telah tertutup, berganti dengan jalur lintasan hewan yang acap menyesatkan kami bila mengikutinya. Tidak jarang, kami kehilangan arah karena topografi tanah di dalam kawasan sangat mirip satu dengan lainnya, terdiri dari lembah-lembah curam dan bukit-bukit dengan kemiringan mencapai 60 derajat.
Kami terpaksa beristirahat untuk mencari jalan alternatif, dan untuk itu butuh banyak waktu. Akhirnya, seperti kami bayangkan, diputuskan menginap di dalam kawasan meskipun jarum jam baru menunjuk pukul 17.30 Wib. Hujan lebat turun dan tidak memungkinkan melakukan perjalanan malam. Kami membangun tenda di punggung salah satu bukit di dalam kawasan CAS II. Di bawah guyuran hujan lebat, kami menggelar kamping. Perjalanan yang melelahkan karena kehilangan jalur ditambah hujan deras membuat kami cepat tertidur. (Bersambung)
Posting Komentar