Bagian 5
Situs arkeologi di Dusun Hopong berupa totem atau patung berbentuk manusia yang sudah tidak insitu. Totem-totem itu pada awalnya berada di beberapa titik di sekitar Dusun Hopong, masyarakat kemudian memungutnya, lalu menumpuknya pada satu titik.
Berputar-putar dalam kawasan Cagar Alam Sipirok (CAS II) untuk menemukan lahan haminjon, rombongan ekspedisi memiliki banyak waktu lebih mengenali kondisi alamnya. Topografi kawasan yang bergunung-gunung memaksa rombongan memilih jalur di bagian puncak gunung, bagian yang lebih datar, dengan resiko bertemu vegetasi pepohonan yang tak terlalu besar.
Dari puncak-puncak perbukitan, tampak bagian lembah dengan kemiringan mencapai 70 derajat, di mana pohon-pohon tampak tinggi, didominasi meranti, hoteng, sampinur, anturmangan, dan lain sebagainya. Pohon-pohon tumbuh dengan tingkat kerapatan yang tinggi, dan fakta ini menunjukkan bahwa kawasan CAS II masih alami. Sejak pertama kali masuk kawasan, rombongan belum pernah bertemu pohon yang tumbang karena tangan manusia.
Fajri Ikhlas Tambunan, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan (UMTS), yang juga Ketua Ikatan Mahasiswa Sipirok, Arse, Saipar Dolok Hole, dan Aek Bila (IMASADA), berkali-kali harus diingatkan agar tidak keluar dari rombongan, atau agar jangan terlalu jaug tertinggal dari barisan. Di dalam kawasan, mahasiswa Fisipol yang menjadi aktivis lingkungan ini merasa mendapat pengalaman baru, bertemu ragam flora baru. Perhatiannya tersita ketika bertemu kawasan anggrek tanah dari keluarga Phaphiopedilum.
Ketertarikannya terhadap anggrek, bagai mendapat tambahan informasi. Dia mendata nama sejumlah anggrek yang ditemukan di kawasan CAS II. Selain Phaphiopedilum, ada juga Bulbophyllum, Phalaeneopsis, Bromheadia, Chelonistele, Coelogyne, Dendrobium, Cymbidium, Calanthe, dll. Beberapa jenis anggrek sedang musim berbunga seperti Phaphioopedilum. Hamparan anggrek sedang berbunga rupanya telah memikat hati Fajri.
Saat sedang mengagumi bunga-bunga anggrek, rombongan dikagetkan kemunculan dua ekor rusa (Cervus unicolor) betina, karena tidak ada tanduknya. Warna bulunya coklat keabu-abuan dengan tinggi sekitar 100 meter. Status konservasi rusa oleh IUCN Readlist dikatagorikan sebagai "vulnerabel" (VU; resiko rendah) sejak tahun 1996 meskipun sebelumnya pernah mendapat status "terancam punah". Di Indonesia, rusa termasuk dalam daftar satwa yang dilindungi berdasarkan PP No.7 Tahun 1999.
CAS II merupakan habitat rusa. Selain rusa, CAS II merupakan habitat kambing hutan Sumatra (Capricornis sumatraensis). Kambing berwarna hitam ini endemik di Pulau Sumatra dan merupakan hewan dilindungi di Indonesia karena terancam punah.
Di habitat aslinya, hutan hujan topis Sumatra, kambing hutan ini hidup soliter meskipun sering dijumpai berkelompok, dan suka di bagian lereng dan tebing pegunungan. Untuk menandai suatu wilayah sebagai tempat mencari makan, kambing ini meninggalkan aroma air seni dan kotorannya.
Asyik mengeksplorasi flora dan fauna yang ada di kawasan CAS II, rombongan ekspedisi kehilangan jalur. Rencanya, rombongan akan memasuki Dusun Hopong sebelum hari gelap agar bisa menginap di perkampungan dan tak perlu mendirikan tenda.
Akibatnya, Amin Siregar yang menjadi pendamping, harus mencari-cari jalur alternatif. Dia memilih jalur menyusuri tebing curam, menuju aliran sungai. Tak ada solusi jalur lain mengingat hari mulai gelap. Rombongan akhirnya sepakat, menuruni jurang, yang berakhir di sebuah sungai kecil.
Medan yang dilalui betul-betul memberi sensasi. Rombongan berhasil melewati tebing meskipun menghabiskan waktu berjam-jam. Setelah berada di dasar tebing, ternyata rombongan menuruni sisi kiri sebuah air terjun yang tak terlalu deras. Air terjun mengalir jernih, membentuk tiga tingkat.
Setelah rombongan istirahat sebentar, perjalanan kembali dilanjutkan. Hari sudah gelap. Suara walang dan binatang-binatang malam berdenging. Rombongan menyusuri sungai, menapaki batu dan pasir dibantu cahaya remang lampu senter. Semakin lama, jalur yang ditempuh makin terjal, dan beresiko terperosok ke dalam jurang.
Pingky Alamsyah akhirnya memutuskan rombongan membangun tenda di pinggir sungai. Saat itu, jarum jam menunjuk angka pukul 19.00 Wib. Beberapa anggota rombongan segera membangun tenda, lainnya menyalakan api untuk mempersiapkan makan malam.
RABU, 27 Januari 2020, pagi rombongan dibangunkan oleh riuh kicau kawanan murai daun (Choloropsis sonnerati) dari atap hutan, disahuti cericit sepah dan kolibri. Pagi itu rombongan bangun pukul 07.00 Wib dan udara dingin menggigit.
Setelah sarapan, rombongan memutuskan melanjutkan perjalanan. Kali ini, sasaran adalah mencapai Dusun Hopong. Dari googlemap terlihat, posisi kami tak jauh dari perkampungan tersebut. Dan, benar saja, sekitar 45 menit menyusuri sungai, rombongan akhirnya tiba di perkebunan pisang barangan.
Sejauh mata memandang, seluruh areal yang terlihat ditanami pisang barangan. Mendapati pemandangan ini membuat rombongan merasa lega setelah dua hari di dalam hutan. Namun, baru saja rombongan mau melintasi kebun pisang barangan, empat ekor anjing mendekat dan menggonggong.
Gonggongan anjing mengundang perhatian pemilik kebun. Sori Tambunan (58), warga Dusun Hopong, pemilik kebun, agak kaget melihat rombongan keluar dari kawasan. Dia mengaku, sudah bertahun-tahun --Sejak lima tahun terakhir dia membuka kebun pisang barangan--belum pernah ada orang yang keluar dari dalam kawasan hutan konservasi. Masyarakat Dusun Hopong sendiri jarang masuk kawasan karena waktu mereka habis mengurusi kebun pisang barangan.
Budidaya pisang barangan jadi primadona masyarakat Dusun Hopong, Desa Dolok Sanggul, Kecamatan Simangumban, Kabupaten Tapanuli Utara selama lima tahun terakhir. Bahkan, kini, Kabupaten Tapanuli Utara menjadi salah satu sentra pisang barangan. Produksi pisang dari daerah ini memberi andil untuk mempertahankan posisi Sumatra Utara sebagai sentra produksi pisang barangan di Indonesia, melengkapi posisi Deliserdang yang selama ini dikenal sebagai sentra pisang barangan.
"Masyarakat beralih ke pisang barangan," kata Dame Simamora, salah seorang warga Dusun Hopong. Dia sedang memanen dua puluh mayang pisang barangan, tiap mayang mencapai sepuluh sisir, atau sebanyak 200 sisir. Dengan harga Rp15.000 per sisir, Dame Simamora bisa mengantongi Rp3 juta dalam sepekan.
Laki-laki beranak satu ini mengaku mengubah kebun sawit menjadi kebun pisang barangan. Pohon-pohon sawit yang sudah berbuah pasir ditebanginya, lalu diganti dengan pisang barangan. Dia mengaku, sawit tidak tumbuh dengan baik. "Pisang barangan lebih menguntungkan secara ekonomi," kata Dame Simamora, yang mengaku menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul.
Meskipun pisang barang menjadi primadona saat ini, tapi tidak semua warga Dusun Hopong memiliki kebun pisang. Masih banyak yang mempertahankan tanaman budidaya lain seperti kopi dan coklat. Di samping itu, masyarakat berusaha sebagai petani padi dan palawija.
Rombongan bercakap-cakap dengan sejumlah masyarakat Dusun Hopong sambil beristirahat di sebuah warung milik Boru Ritonga. Awalnya percakapan mengarah pada pengenalan berdasarkan marga, tradisi seperti ini acap dilakukan masyarakat Batak, karena tiap masyarakat marga yang berbeda memiliki hubungan kekerabatan marga. Pendekatan marga ini efektif membuat komunikasi menjadi lancar. Rombongan kemudian menjelaskan tujuan kedatangan ke Dusun Hopong, tak lain untuk melihat situs arkeologi yang ada di dusun itu.
Situs arkeologi itu berupa totem atau patung berbentuk manusia yang sudah tidak insitu. Totem-totem itu pada awalnya berada di beberapa titik di sekitar Dusun Hopong, masyarakat kemudian memungutnya, lalu menumpuknya pada satu titik.
Tempat penumpukkan itu di tengah-tengah perkampungan, di samping rumah keluarga raja panusunan bulung (keluarga pembuka perkampungan Hopong). Rumah keluarga raja panusunan bulung itu bukan bangunan lama, tetapi bangunan baru dari kayu. Di atas pintu rumah yang sederhana itu ditulis nama raja panusunan bulung, Baginda Sutan Siagian.
Rumah itu digembok karena penghuninya sedang pergi. Di samping rumah yang sederhana itulah sebanyak dua belas totem manusia diletakkan, di dalam sebuah bangunan tidak berdinding yang terkesan alakadar. Hanya ada atap seng.
Di bagian atas bangunan sederhana itu ada tulisan dengan cat warna putih berbunyi "Horas. Bantuan ini dari Mauliate Sitompul". Mauliate Sitompul adalah calon anggota legislatif di Kabupaten Tapanuli Utara. Saat berkampanye pada Pemilu 2019, Mauliate Sitompul berkunjung ke Dusun Hopong dan berinisiatif membangun sebuah tempat di mana warga Dusun Hopong bisa meletakkan totem-totem peninggalan arkeologis itu.
Sebelum bangunan itu ada, totem-totem berbentuk manusia ditaruh begitu saja seakan-akan bukan benda yang berharga. Hujan dan panas membuat patung-patung itu mulai rusak. Dari dua belas buah patung, hanya satu yang kondisinya lebih bagus, meskipun beberapa bagian dari patung itu telah rusak.
"Kami tak tahu persis bagaimana sejarah patung ini bisa ada di Hopong," kata Ahmad Siagian, tokoh masyarakat Dusun Hopong. "Tapi kami meyakininya berasal dari zaman Hindu."
Keyakinan Ahmad Siagian dibenarkan warga Dusun Hopong lainnya, meskipun mereka tidak bisa menjelaskan lebih rinci kaitan patung-patung itu dengan zaman Hindu. Ahmad Siagian mengakui, pendapat tentang zaman Hindu itulah yang diyakini masyarakat Dusun Hopong, meskipun tidak ada seorang pun warga perkampungan itu yang beragama Hindu.
Yang jelas, setiap kali ada orang yang datang, cerita tentang zaman Hindu itulah yang disampaikan warga. Terlepas ada atau tidak kebenarannya, masyarakat tidak pernah tahu bagaimana cara mengungkapkan kebenaran itu.
"Sudah banyak yang datang melihat patung-patung itu, dan setiap orang yang datang mengatakan patung-patung itu bernilai sejarah," kata Ahmad Siagian. "Sampai hari ini, kami tidak pernah paham apa nilai yang terkandung pada patung-patung ini."
Keberadaan situs arkeologis Hopong sudah lama diketahui. Pemda Kabupaten Tapanuli Utara sudah berulang datang dan menjanjikan akan membangun infrastruktur untuk melindungi warisan leluhur budaya masyarakat Hopong ini, tapi realisasi dari rencana pemerintah daerah itu tidak terwujud. Bahkan, pihak yang selama ini ditugaskan untuk menjaga dan mengawasi patung-patung itu, kini tak mau lagi melakukan tugasnya.
"Patung-patung itu dibiarkan begitu saja," kata Ahmad Siagian. (Bersambung ke Bagian 6)
Posting Komentar