Berburu burung pengicau yang dilindungi dilakukan masyarakat yang tinggal di sekitar Cagar Alam Sipirok (CAS II).
Amin Siregar tidak tahu. Padahal, kawasan bukan daerah yang asing bagi sebagian besar warga Desa Ramba Sihasur. Bukan saja karena mereka acap keluar-masuk kawasan untuk berburu, tetapi karena kawasan merupakan jalan alternatif yang dapat ditempuh untuk sampai ke Dusun Hopong, Desa Dolok Sanggul, Kecamatan Simangumban, Kabupaten Tapanuli Utara.
Sebagian besar warga Desa Ramba Sihasur memiliki hubungan kekerabatan dengan warga Dusun Hopong, dan keterkaitan kedua warga yang berada di dua kabupaten berbeda itu memiliki sejarah yang panjang. Hubungan kekerabatan itu menjadi bukti, bahwa sebagain masyarakat di Kabupaten Tapanuli Selatan punya ikatan antropologi, kultural, dan histori yang tak akan pernah putus dengan sebagian masyarakat yang tinggal di Kabupaten Tapanuli Utara.
"Ikatan kekeluargaan itu semakin kuat karena terjadi pernikahan antara warga Desa Ramba Sihasur dengan warga Dusun Hopong," kata Amin Siregar.
Itu sebabnya, masyarakat Desa Ramba Sihasur dengan masyarakat Dusun Hopong saling kunjung mengunjungi. Silaturahmi di antara kedua masyarakat tetap terjalin, dan jalinan silaturahmi semakin mudah lewat jalur alternatif berjalan kaki melintasi kawasan CAS II.
"Dari Desa Ramba Sihasur, hanya butuh empat sampai lima jam menuju Dusun Hopong," kata Boru Tambunan (59), warga Desa Ramba Sihasur.
Boru Tambunan kelahiran Dusun Hopong. Puluhan tahun lalu, dia menikah dengan pemuda asal Desa Ramba Sihasur, dan hubungan pernikahan itu mengeratkan tali persaudaraan antara penduduk kedua perkampungan. Pasalnya, anak dari Boru Tambunan, kemudian melanjutkan tradisi turun-temurun dengan menikahi gadis asal Dusun Hopong.
Menurut foklor yang berkembang di lingkungan masyarakat marga Siregar di Kecamatan Sipirok, hubungan pernikahan antara warga Desa Ramba Sihasur dengan warga Desa Hopong erat kaitannya dengan nilai-nilai filsafat budaya dalihan na tolu terkait pembukaan perkampungan. Awalnya, Dusun Hopong merupakan perkampungan lama yang dibuka oleh masyarakat marga Siagian, yakni masyarakat marga yang memiliki kekerabatan dengan masyarakat marga Siregar.
Masyarakat marga Siagian (Siregar) ini berasal dari wilayah Utara, dari daerah asal mereka di Muara Siregar, di tepi Danau Toba. Dikisahkan dalam folklor tersebut, bahwa masyarakat marga Siregar meninggalkan Muara Siregar di tepi Danau Toba karena daerah itu dilanda musim kemarau panjang hingga debit air di Danau Toba menyusut, dan tidak ada lagi tanaman budidaya yang bisa hidup.
Rakyat menderita kelaparan dan diserang berbagai jenis penyakit, sehingga Raja Panusunan Bulung (raja pembuka kampung) Muara Siregar memutuskan mengirim untusan pergi ke wilayah Selatan untuk mencari daerah baru yang lebih subur. Utusan yang dikirim itu adalah anak-anak keturunan Raja Panusunan Bulung, salah satunya Siagian (anak paling bungsu), bersama sejumlah warga.
Para utusan melintasi tombak (hutanraya) dengan berjalan kaki ke arah Selatan, kemudian tiba di sebuah dataran yang dipilih sebagai tempat persinggahan sementara. Daerah itu banyak ditumbuhi pohon hopong, sejenis pohon asam yang buahnya sebesar manggis dan mengumpul pada pangkal batang hingga ke akar yang menyembul di tanah.
Di daerah ini rombongan memutuskan singgah, lalu membuka dan membangun perkampungan baru di kawasan tersebut.
Setelah perkampungan berdiri, utusan dikirim ke kampung asal di Muara Siregar untuk memberitahu perihal pembukaan kampung baru yang kemudian disebut Hopong. Setelah perkampungan Hopong berdiri dan ramai, utusan Raja Panusunan Bulung di Muara Siregar kembali lagi ke Muara Siregar untuk memberitahu perihal keberhasilan utusan dalam membuka kampung baru.
Namun, Siagian tidak ikut karena dia diberi tanggung jawab menjaga Hopong sebagai Raja Panusunan Bulung (raja pembuka kampung), dan sejak itu Hopong dikenal sebagai perkampungan yang dibuka oleh masyarakat marga Siagian. Sejak utusan kembali ke Muara Siregar, mereka tak pernah lagi datang ke Hopong. Dikisahkan dalam foklor, rombongan utusan dari Muara Siregar itu tidak pernah kembali ke Muara Siregar, kesasar ke daerah lain di sebelah Timur.
Di daerah itu, rombongan utusan dari Muara Siregar kemudian membangun sebuah perkampungan, tapi kemudian ditinggalkan. Perkampungan yang ditinggalkan itu bernama Lobu Siregar, kini masuk dalam wilayah Kecamatan Saipar Dolok Hole. Dari Lobu Siregar, utusan marga Siregar terus ke arah Selatan, dan setiap kali singgah selalu membuka perkampungan baru. Kelak, jalur migrasi utusan dari Muara Siregar ini yang kemudian menjadi cikal-bakal Kecamatan Sipirok.
Sementara masyarakat marga Siagian yang membangun Dusun Hopong terus berkembang, dan sebagian dari mereka kemudian membuka perkampungan di Desa Ramba Sihasur.
Sesuai data Biro Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan, kini Desa Ramba Sihasur berpenduduk 181 jiwa atau terdiri dari 41 rumah tangga. Di desa ini ada SD Negeri 101237 Ramba Sihasur yang memiliki 6 guru dan 42 siswa.
Lulus SD, para siswa melanjutkan pendidik ke jenjang SMP dan SMA di wilayah lain di Kecamatan Sipirok, harus menempuh jarak sekitar 19 km, dan tak ada sarana transportasi umum.
Kisah asal-usul perkampungan yang ada di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan maupun Kabupaten Tapanuli Utara, yang dibangun oleh masyarakat marga dari budaya Batak, bisa ditelusuri jejak sejarahnya dengan dua cara.
Pertama, dilihat dari aspek kebahasaan terkait toponim atau pengetahuan dan pengalaman budaya masyarakat dalam memberi nama dari sebuah tempat. Dalam budaya masyarakat Batak, pemberian nama perkampungan erat kaitannya dengan makna pembentukan perkampungan tersebut, dan dari sana bisa ditelusuri sejarah pendirian kampung.
Contoh, Desa Ramba Sihasur yang berasal dari kata dasar "ramba" yang berarti "hutan yang pernah dibuka atau hutan tempat bercocok-tanam" dan "hasur" berarti "tempat tidur". Nama "Ramba Sihasur" bisa dimaknai secara harfiah sebagai hutan yang pernah dipakai sebagai tempat berusaha dan orang sering tidur di sana", namun secara subtansial bermakna "Ramba Sihasur pada awalnya merupakan hutan tempat masyarakat berusaha dan lama kelamaan berkembang menjadi perkampungan".
Masyarakat yang menjadikan tempat berusaha adalah masyarakat dari Dusun Hopong, yang kemudian menjadi pembuka perkampungan baru, lalu masyarakat di perkampungan baru itu berinteraksi secara sosiial dengan masyarakat di sekitarnya dan terjalin ikatan sosial akibat pernikahan.
Kedua, dilihat dari sifat masyarakat yang bertalian erat dengan tanahnya sebagaimana dipahamkan Karl Marhaein sebagai "interdepedensi", yang berarti bahwa jiwa rakyat dengan tanahnya tidak bisa dipisah-pisahkan. Artinya, rakyat dengan tanah tempat dia tinggal memiliki hubungan erat karena rakyat akan menentukan hukum atas tanah tersebut, yang kemudian dalam kajian filsafat tradisional membentuk apa yang disebut hak ulayat.
Dengan kata lain, tanah yang membentang dari Dusun Hopong di Kabupaten Tapanuli Utara sampai Desa Ramba Sihasur di Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan lahan yang dimiliki oleh masyarakat pembuka kampung bermarga Siagian yang ditandai dengan keberadaan Dusun Hopong dan Desa Ramba Sihasur sendiri, sehingga kawasan yang kini menjadi CAS II merupakan tanah ulayat masyarakat marga Siagian (Siregar).
Itu sebabnya, masyarakat Desa Ramba Sihasur menganggap kawasan CAS II bagian dari mereka, di mana mereka bisa mencari nafkah dan hidup dari apa yang terkandung di dalam CAS II. Amin Siregar mengakui hal itu sudah berlangsung sejak lama, makanya masyarakat Desa Ramba Sihasur merasa memiliki kawasan CAS II sebagai bagian dari dirinya sendiri.
Mereka mengenali setiap bagian dari CAS II, seluruh topografinya, dan berbagai jenis flora dan fauna yang ada di dalamnya. Tidak sedikit masyarakat yang keluar masuk CAS II untuk mengambil hasilnya seperti berburu burung-burung keciau untuk dipelihara sendiri.
Awal Mukmin Siregar dalam penelitiannya berjudul The Dependence of Ramba Sihasur Villagers to Non Timber Forest Products (NTFPs) on Dolok Sipirok Nature Reserve (CADSi) in Sipirok
South Tapanuli District North Sumatera Province, menyebut masyarakat Ramba Sihasur sangat miskin dan fasilitas sosial di desa itu terbatas, sehingga mereka mengandalkan kehidupan dari dalam kawasan CAS II.
Saat pertama kali memasuki Desa Ramba Sihasur, rombongan melihat hampir semua rumah memelihara burung pengicau seperti Poksay Jambul (Garrulax leocolopus) atau Poksay Sumatra (Garrulax bicolor), Poksay Genting atau masyarakat menyebut Sibahue (Garrulax mitratus), Poksay Mantel (Garrulax palliatus), Cucak Hijau dari famili Chloropseidae, burung sepah dari famili Campephagidae, dan jenis cucak lain dari famili Pycnonotidae.
"Burung-burung itu berasal dari kawasan, ditangkap oleh masyarakat untuk dipelihara sendiri," kata Amin Siregar.
Pada 29 September 2020, Yayasan Scorpion, sebuah lembaga lingkungan yang berkonsentrasi melakukan investigasi terhadap perdagangan satwa liar setiap, mengunjungi Desa Ramba Sihasur dan menemukan adanya perburuan (pengangkapan liar) terhadap burung yang dilakukan oleh masyarakat. Namun, dalam website NGo (non-goverment organization) itu disebut burung-burung yang ditangkap dan diperdagang oleh masyarakat Desa Ramba Sihasur dari kawasan CAS II, tidak termasuk hewan yang dilindungi.
Baca sebelumnya: Ekpedisi Haminjon di Cagar Alam Sipirok | Bersambung Bagian 3 Menjaga Habitat Orangutan
Posting Komentar