Simalakama Tambang Emas Liar di Madina



Setelah dikritik banyak kalangan karena diduga menyebabkan pencemaran sumber mata air dengan merkuri dan sianida, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kabupaten Mandailing Natal akhirnya bersepakat akan menertiban praktek tambang liar (taling) di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Batang Natal di Kecamatan Batang Natal dan Kecamatan Lingga Bayu. Tapi, bagaimana nasib rakyat yang kehilangan mata pencaharian, dan adakah solusi yang akan diberikan pemerintah daerah?

Ahmad (45) dan Kamaluddin (32) tidak percaya kalau pemerintah daerah di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) akhirnya memutuskan menutup tambang liar di sepanjang DAS Aek Batang Natal. Pasalnya, kedua warga Kecamatan Batang Natal ini mengaku, masyarakat sudah bekerja sebagai penambang emas di sungai secara turun-temurun.

"Kalau pemerintah menutupnya, masyarakat akan kehilangan pekerjaan. Apa pemerintah mau mencarikan pekerjaan untuk kami, atau pemerintah mau membiayai hidup kami," kata Ahmad.
 
Ahmad tinggal di Desa Sipogu, namun tidak ikut menambang emas di Batang Natal. Tapi, dia tahu persis, menjadi penambang emas di Batang Natal merupakan pekerjaan utama sebagain besar masyarakat yang tinggal di DAS Batang Natal. Pekerjaan itu mereka lakukan dengan menggunakan peralatan tradisional yang sederhana.

"Kalau alasannya mencemarkan lingkungan, saya kira ini alasan mengada-ada. Sejak kapan penambang tradisional mencemari lingkungan," katanya.

Kamaluddin yang tinggal di Desa Muara Soma, mengatakan kasus pencemaran lingkungan yang dipersoalkan belakangan ini bukan dilakukan oleh masyarakat penambang. Pencemaran itu terjadi karena banyak pengusaha yang ingin menikmati tambang emas, dan mereka menggunakan zat kimia guna mendapatkan hasil yang lebih banyak.

"Penggunaan alat-alat berat itu yang sering memakai zat kimia agar hasil tambang mereka lebih produktif," katanya.

Baik Ahmad maupun Kamaluddin mengatakan, kehadiran pengusaha tambang yang menggunakan peralatan berat itu mendorong munculnya pengusaha gelondongan yang bertugas menghancurkan material tambang untuk mendapatkan biji emas. Para pengusaha yang mendorong pemilik gelondong untuk menggunakan zat kimia seperti merkuri dan sianida.

"Mereka juga sering merangkap jadi pedagang merkuri dan sianida. Menjula zat kimia itu kepada pengusaha gelondong," kata Ahmad.   

Sebelumnya, Forkopinda Madina menggelar rapat pada Selasa, 28 April 2020, untuk menyikapi keputusan Gubernur Sumatra Utara, Edy Rahmayadi, meminta menutup semua tambang liar yang ada di Madina karena dampaknya terhadap kerusakan lingkungan. Dalam rapat itu disepakati, Pemda Kabupaten Madina akan menutup tambang liar  meskipun belum ditentukan jadwal penutupannya.

Kambing Hitam

Aek Batang Natal mengalir sepanjang 70,5 km melintasi sejumlah kecamatan di Madina-- mulai dari Siabu dan berakhir di Batang Natal. Di sepanjang DAS sungai yang bermuara di pantai Barat itu, tak sulit menemukan praktek penambangan emas.

Ada warga yang mendulang pasir di dalam air menggunakan pengayak, membentuk kelompok-kelompok, dua sampai empat orang dalam satu kelompok. Mereka biasa berasal dari satu keluarga, bekerja sebagai penambang emas sebagaimana leluhur mereka melakukannya. Meskipun hasilnya tak banyak, pekerjaan menambang secara tradisional tak pernah ditinggalkan.

Di beberapa tempat, terlihat eksavator sedang mengeruk dasar sungai. Sejumlah lubang hasil kerukan bertebaran di sepanjang DAS Aek Batang Natal, membuat penampakan DAS Aek Batang Natal terlihat dipenuhi bopeng. Truk-truk pengangkut material hasil kerukukan keluar-masuk. Setelah eksvator memenuhi bak truk dengan mataerial hasil kerukan, truk-truk itu bergerak meninggalkan DAS Aek Batang Natal.

"Eksavator itu punya pengusaha. Ada juga milik pejabat dan anggota dewan," kata Usman (45). Dia warga Desa Simpang Gambir, Kecamatan Lingga Bayu, Kabupaten Madina, tapi tak ikut bekerja sebagai penambang emas tradisional. Dia mengatakan, banyak warga yang menjadikan mencari emas di sungai sebagai mata pencaharian mereka. Emas-emas hasil tambang itu dijual kepada pengumpul yang datang dari Panyabungan dengan harga relatif murah. 

Minggu, awal Mei 2020, saya tiba di Kecamatan Lingga Bayu, Madina. Kecamatan ini salah satu DAS Aek Batang Natal. Sungai sepanjang 70,5 km, melintasi dari Siabu sampai muara di pantai barat. Sepanjang sungai itu, masyarakat bekerja menambang emas, baik secara tradisional menggunakan alat bukan mesin maupun peralatan teknologi canggih. 

Para penambang tradisional ini disebut pemerintah sebagai penambang liar atau ilegal, karena ada penambang legal yang mengantongi izin tambang di sepanjang DAS Batang Natal. Kegiatan penambangan ini hanya dibedakan dokumen  perizinan penambangan, juga sistem penambangan yang dilakukan:  tambang terbuka dan tambang tertutup.

Biasanya perusahaan tambang untuk tahapan  eksploitasi akan melakukan  proses penambangan terbuka dan tertutup yang umumnya mineral logam dari berbagai komoditas.  Sementara tambang rakyat melalui pola tambang tertutup atau sistem terowongan dengan  cara kerja secara manual untuk memproduksi emas.

Sistem penambangan di Mandina yang diterapkan berdasarkan  perizinan tersebut adalah sistem tambang terbuka (open pit), yaitu dengan  melakukan  pengupasan pada permukaan tanah untuk mengeksplotasi kandungan mineral logam di dalamnya. Sistem tambang terbuka merupakan ancaman  besar bagi perubahan bentang  alam yang nantinya akan merusak layanan fungsi-fungsi alam terhadap  ekosistem yang ada, ditambah  kerusakan pada sumber-sumber penghidupan yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian.

Kehadiran taling di Madina mengundang protes sejumlah kalangan menyusul terjadi pencemaran lingkungan dengan merkuri dan sianida. Kedua zat kimia itu dipergunakan para pelaku penambangan liar untuk memisahkan material emas dari material lain hasil penambangan. Penggunaan zat kimia berbahaya ini mencemari Aek Batang Natal, padahal sungai ini merupakan sumber pengairan bagi masyarakat sepanjang DAS.

Gubernur SUmatra Utara, Edy Rahmayadi, pernah menegaskan tambang emas ilegal di Madina harus ditutup dan lahannya dialihkan menjadi areal pertanian. Keputusan Gubernur Sumatra Utara ini telah disampaikan kepada Pemda Kabupaten Madina sejak Desember 2019, namun pemerintah daerah masih menimbang banyak hal terutama terkait alternatif solusi pekerjaan bagi masyarakat. Namun, solusi itu tidak kunjung ditemukan. Pasalnya, penambangan liar tidak mungkin menghentikan pekerjaan mereka, karena pekerjaan yang dilakukan secara turun-temurun.

Kebijakan Gubernur Sumut menutup tambang lias di Madina mendapat tanggapan dari Komisioner Ombudsman Republik Indonesia, Adrianus Meliala. Dia menegaskan,  kebijakan Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi, menutup tambang emas ilegal di Madina tidak akan cukup tanpa dibarengi dengan menghilangkan zat merkuri di wilayah tersebut.

"Musnahkan zat merkuri yang tertanam di tanah akibat pencucian yang dilakukan oleh penambang ilegal tersebut," kata Adrianus saat berjkunjung ke Ombudsman Kantor Perwakilan Sumut, Rabu, 18 Desember 2020.

Adrianus menjelaskan pengalaman mereka ketika menangani penambang ilegal di Gunung Botak, Maluku, ternyata tidak bisa hanya sebatas menutup karena ada banyak hal yang akan timbul setelah dilakukan penutupan.

Zat merkuri yang sudah sempat tertanam di dalam tanah tidak mudah untuk dihilangkan. Harus menggunakan alat khusus untuk menghilangkannya. Kemudian masyarakat yang selama ini sudah tergantung mencari nafkah dengan menambang, dikhawatirkan akan kembali lagi melakukan penambangan ilegal.

"Mendengar masukan saya tadi, Gubsu terkejut sebab ternyata menutup tambang ilegal di Madina bukan sebuah solusi yang pas, ternyata banyak hal lagi yang harus diperhatikan dampak dari penutupan tambang emas ilegal itu," katanya.

Menurut Adrianus teknologi untuk menghilangkan atau menetralisir zat merkuri yang sudah tertanam di dalam tanah sampai saat ini belum ada.

Selama ini, pekerjaan penambang emas tidak menimbulkan masalah. Masyarakat bisa menambang kapan saja tanpa khawatir, tapi belakangan setelah banyak pengusaha yang terjun ke dunia penambangan emas memakai peralatan berat, masalah pertambangan emas menjadi persoalan besar.

Marzuki, pelaku usaha gelondongan di Kecamatan Huta Bargot, Madina, mengaku pihaknya sering menjadi kambing hitam yang dipersalahkan. Padahal, tidak semua pengusaha gelondongan membuang sisa air gelondongan ke sungai. "Kami memproses lebih dahulu sebelum dibuang dalam bentuk material," kata Marzuki.

Dalam pandangan Marzuki, tambang emas liar yang muncul di Kecamatan Huta Bargot membuka peluang usaha baru bagi masyarakat. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, sudah banyak muncul pendatang baru dari berbagai daerah di Indonesia untuk menambang. Sebagian dari mereka merupakan pekerja, orang-orang yang digaji oleh pengusaha bermodal besar. Sebagian lainnya, datang atas nama priba karena ingin menguji peruntungan.

"Banyaknya penambang ini mengkhawatirkan bagi kalangan tertentu yang ingin ikut menikmati emas dari Batang Natal. Supaya mereka bisa berusaha sendiri, masyarakat kecil yang dikambinghitamkan," katanya.

Pengusaha Besar

Meskipun tambang liar dikecam banyak kalangan, namun masyarakat menilai kecaman itu hanya datang dari para pengusaha yang ingin berusaha sendiri. Pasalnya, pemerintah telah mengeluarkan banyak izin bagi pengusaha pemodal besar untuk menambang emas di Madina.

Dari catatan yang ditemukan Sinar Tabagsel, ada 29 perusahaan besar yang mendapatkan izin untuk menambang di Madina. Sebanyak 27 perusahaan itu mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) dan dua diantaranya mengantongi kontrak karya (KK). Dua perusahaan yang mengantongi KK itu adalah PT Sorikmas Mining, yang sebagian sahamnya dimiliki PT Aneka Tambang, badan usaha milik negara (BUMN) di bidang pertambangan minieral dan energi.

PT Sorikmas Mining mengantongi KK nomor: 554.K/30/DJB/2011. Perusahaan ini sudah melakukan eksplorasi atas beberapa daerah tambang yang ada dalam wilayah KK. Bahkan, akhir 2019 lalu, pihak manajemen PT Sorikmas Mining telah mengirimi pemberitahuan kepada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Madina perihal rencana perusahaan tersebut untuk eksplorasi atas 25.032,41 hektare lahan dalam KK mereka pada 2020. Lahan-lahan itu berada di wilayah Kecamatan Siabu, Naga Juang, Huta Bargot, Panyabungan Barat, batang Natal, Natal, Kotanopan, Muara Sipongi, dan Ulu Pungkut. PT Sorikmas Mining menyampaikan pemberitahuan ini untuk mendapatkan izin Lingkungan Hidup guna melakukan eksplorasi.

Dengan adanya izin Lingkungan Hidup, PT Sorikmas Mining akan mengeksploitasi lahan-lahan tambang yang ada dalam KK. Persoalan muncul karena di semua lahan dalam KK PT Sorikmas Mining itu bisa ditemukan dengan mudah kegiatan penambangan liar yang dilakukan oleh masyarakat. Diduga, PT Sorikmas Mining telah mengingatkan pemerintah daerah agar menutup tambang liar yang ada di wilayah KK mereka.

"Penutupan tambang rakyat ini bukan lantaran isi pencemaran yang terjadi akhir-akhir ini, tapi karena pemerintah lebih mendukung pengusaha besar," kata Usman.

Usman mengatakan,  selain PT Sorikmas Mining, masih ada PT Agincourt Resources yang memiliki wilayah KK di Kabupaten Madina. Dari penulusuran SInar Tabagsel, PT Agincourt Resources yang menguasai Tambang Emas Martabe di Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, mengantongi KK Nomor: 309.K/30.00.DJB/2008 dan masih tahapan konstruksi karena fokus mengerjakan lahan tambang di wilayah Tapanuli Selatan.

Penulis: Budi Hutasuhut
Editor: Efry Nasaktion
alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes