Oleh: Budi Hatees | Peneliti pada Institute Pustaha
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dipilih Gubernur Jakarta Anis Baswedan untuk memutus penyebaran virus corona (Covid 19) tDivfpaknya belum efektif. Warga tak menyambut dengan senang hati, karena mereka tak bisa bekerja dari dalam rumah. Sementaa hidup harus berlanjut, warga terpaksa menantang maut.
PSBB di Jakarta yang akan berakhir 23 April 2020 tampaknya akan diperpanjang, mungkin sampai Mei, Juni, Juli.... Jelasnya, dalam tahun 2020 ini kondisi Ibu Kota selama Covid 19 akan selalu diikuti seluruh warga negara, dan pengalaman warga Jakarta menghadapi kebijakan PSBB akan dijadikan pengalaman bersama.Itu sebabnya, sejumlah daerah di Indonesia, termasuk di Tapanuli bagian Selatan, memposisikan Jakarta sebagai contoh. Pemerintah daerah mencontoh kebijakan di Jakarta sambil mencurigai warga Jakarta yang memutuskan pulang.
Semua warga Jakarta yang memutuskan pulang ke daerah masing-masing karena satu dan lain hal untuk menghindari mati konyol akibat corona, dan sebagian sudah tiba di Tabagsel, mendadak menjadi orang asing di kampung halamannya. Asing karena para kerabat dan tetangga menolak bertemu.
Inilah yang dialami para perantau asal Jakarta dan kini kembali ke Sipirok, Batangtoru, Angkola Barat, Angkola Selatan, Saipr Dolok Hole, Arse, dan lain sebagainya. Begitu mereka tiba di rumah kelahirannya, bukan kerabat yang menyambut.
Aparatur desa bersama aparat kepolisian yang menyambut. Mereka datang dan langsung membawa para perantau ke pusat-pusat pemeriksaan. Mereka dikhawatirkan membawa virus corona di tubuhnya.
Cuma, para penjemput sama sekali tak menggunakan peralatan lengkap, dan mengantar memakai sepeda motor. Di Kecamatan Sipirok, tepatnya di wilayah Desa Pahae Aek Sagala, ada perantau yang dijemput polisi pakai sepeda motor dan diantarkan ke RSUD Sipirok untuk menjalani pemeriksaan.
Untunglah perantau itu tak terkait virus Covid 19 sehingga boleh pulang dengan kewajiban karantina di dalam rumah selama 14 hari. Bagaimana seandainya perantau terkena virus Covid 19, lalu apa yang akan dilakukan terhadap aparat kepolisian yang memboncengi dengan sepeda motor.
Perilaku aparat kepolisian ini harus diacungi jempol karena kegesitannya mengantisipasi penyebaran virus corona, tapi harus ditertawakan karena buruknya pengetahuannya terhadap virus Covid 19. Memutus penyebaran virus tanpa peralatan lengkap sama saja dengan mengumpankan diri untuk menjad korban berikutnya.
Pengetahuan yang buruk, pemahaman yang setengah-setengah, dan rasa takut yang luar biasa merupakan karakter paling tepat untuk menggambarkan kondisi psikologis warga maupun pemerintah di daerah dalam menghadi Covid 19. Pemerintah daerah menjadikan Jakarta sebagai pedoman dalam membuat kebijaan, memilih ingin melakukan PSBB tapi tak punya database yang dapat mendukung kebijakan tersebut.
Bupati Tapanuli Selatan, Syahrul M. Pasaribu, pernah terpikir mau menempuh PSBB, tapi rencana itu belum mendapat izin dari pemerintah pusat. Mesipun begitu, kebijakan pembatasan sosial skala besar telah diterapkan secara tak langsung di Tapanuli Selatan. Misalnya di Kecamatan Sipirok, di mana para aparat kepolisian bertindak luar biasa membatasi warga yang berkumpul, bahkan sampai ke wilayah privat warga seperti kebun.
Pembatasan sosial di daerah di luar Jakarta, apalagi daerah yang sebagian besar kehidupan masyarakatnya merupakan masyarakat agraris, harus dipikirkan lebih matang. PSBB berdampak serius terhadap segala dinamika kehidupan, termasuk budaya da etika sosial.

Posting Komentar