Oleh Budi Hatees | Peneliti pada Institute Pustaha
SAYA sering menolak ajak makan di luar rumah. Istri saya tahu apa alasan penolakan itu, salah satu alasan yang paling mendasar karena tidak ada menu masakan yang cocok dengan lidah saya. Saya tidak terlalu memilih soal makanan, yang penting halal, tetapi karena istri saya terlalu sering memanjakan lidah saya di dalam rumah, maka makanan di luar rumah tak cocok lagi dengan lidah saya.
“Sekali-sekali kita perlu bersantai di luar rumah,” kata istri saya, seakan-akan bersantai itu akan menjadi lengkap dan sempurna jika diisi dengan acara makan. Dan saya, biasanya, mengalah, lalu memberi kebebasan kepada istri saya untuk memilih tempat bersantai yang dia maksudkan.
Saya tak mungkin memilih, karena saya tak pernah mengingat nama tempat makan yang ada di kota ini. Selain menunya tak cocok dengan lidah saya, juga disebabkan para pelayanan di tiap tempat makan yang pernah saya datangi tak terlatih melayani. Mereka—para pelayan itu—cenderung memperlakukan konsumen sebagai beban, seakan-akan kehadiran konsumen membuat si pelayan tak bisa beristirahat dengan tenang, atau tak punya waktu luang untuk bermain game pada gawainya.
Suatu hari saya pernah meninggalkan tempat makan hanya karena sekelompok pelayan tertawa-tawa dan bercanda di antara mereka sementara pesanan saya tidak kunjung datang. Ketika saya tanyakan nasib pesanan saya, para pelayan yang sedang berkumpul di salah satu sudut rumah makan, menjawab: “Tenang saja, Pak, pasti akan kami antar pesanannya.”
Jawaban itu membuat saya kecewa, seakan-akan saya sedang tidak tenang. Padahal, saya teramat tenang sehingga bisa menanyakan perihal pesanan saya. Kalau saja saya tidak tenang, sudah tentu tempat makan itu saya bakar. Minimal, ada tiang penyangga saung yang saya patahkan. Dan, memang, jawabannya itu akhirnya membuat saya tidak tenang. Tapi saya buru-buru pergi sebelum ketidaktenangan saya membuat tempat makan itu rubuh.
Inilah alasan saya kenapa sering menolak ajakan makan di luar rumah. Karena, para pemilik tempat makan tidak pernah mengajari pelayannya semacam teknik melayani pelanggan, seperti kerja-kerja terkait hospitaliti yang dapat menyenangkan hati pelanggan. Bukankah pelayanan yang baik akan membuat menu biasa-biasanya menjadi lebih nikmat dibandingkan menu yang luar biasa tapi pelayanannya buruk?
Satu hal lagi yang membuat saya menolak ajakan makan di luar rumah, yakni soal filosofi selera yang tidak dipahamkan para pengelola tempat makan. Mereka yang berusaha atau berbisnis dan senang disebut bisnis kuliner yang ada di kota ini, pada dasarnya bukan pengusaha dalam pengertian sebagai enterpreneur, melainkan para penganut budaya mengekor yang tak menyadari bahwa pilihannya sebagai sebuah kekeliruan fatal bagi para pengusaha.
Para konsultan bisnis selalu berpesan agar pengusaha jadi pionir, karena hanya seorang pionir yang akan sukses. Para pengekor, sudah bisa dipastikan, hanya akan berakhir sebagai pemandu sorak yang gagal menikmati suara sorakannya karena nadanya berubah jadi suara tangis. Di sana ada penyesalan, semacam keluh-kesah atau gerutuan: “Kenapa saya harus jadi pengekor.”
Kenyataan memang seperti itu, banyak pelaku usaha di kota ini yang sesungguhnya para pengekor. Ketika orang lain sukses menjual martabak, mereka menjual martabak. Ketika si penjual martabal yang dicontoh menjual martabak sambil memutar lagu dan bernyanyi, para pengekor akan ikut-ikutan menjual martabak sambil memutarkan lagu. Ketika penjual martabak membuat martabak warna pelangi, para pengekor akan melakukan hal yang sama. Akibatnya, segala produk kuliner yang ada di kota ini selalu seragam. Jika satu orang jual bakso setan, maka akan muncul pedagang bakso setan yang lain. Begitu terus-menerus, dan konsumen tidak punya pilihan alternatif.
Memang, selera penting bagi manusia. Selera seseorang membedakan mereka dengan orang lain. Tapi, tahukah Anda, selera itu hasil konstruksi. Kata Bourdieu, tingkat pendidikan dan pengasuhan seseorang akan memberikan pengaruh yang signifikan dalam menentukan selera orang tersebut. Bila selera itu soal kuliner, maka selera seseorang ditentukan oleh pengetahuannya tentang kuliner. Jika pengetahuan dia dapat dari media, dari acara kuliner yang sering disajikan televisi atau iklan-iklan adsense yang dimunculkan vendor telekomunikasi lewat gawai, di dalam kepalanya akan terbangun persepsi bahwa kuliner yang disaksikankan itu sangat nikmat. Seleranya kulinernya pun terbangun, lalu orang itu akan berusaha untuk menikmati kuliner yang dia persepsikan pasti enak.
Tempat makan di kota ini, juga selera kulinernya, tak ada yang autentik. Semua jenis makanan selalu produk urban, mulai dari ayam penyet, ayam geprek, ayam goreng, cilok, pisang krispy, dan lain-lain yang sebetulnya hanya soal nama. Anda tahu, harga paha ayam goreng hanya Rp10.000, tapi harga itu akan menjadi Rp50.000 jika paha ayam goreng diganti menjadi ayam kentucky. Jadi, saya menolak makan di luar rumah karena yang saya makan adalah merek dan mimpi. Saya sulit kenyang memakan semua itu, padahal makan untuk kenyang
Posting Komentar