![]() |
| Gubernur Sumut, Bobby Nasution, bersama kontraktor saat meninjau lokasi dua proyek pembangunan jalan, Sipiongot-Batas Labuhanbatu dan Hutaimbaru-Sipiongot di Kabupaten Padang Lawas Utara, |
Menjadi pengusaha konstruksi di daerah merupakan pilihan yang beresiko masuk penjara.
Setidaknya ini berlaku bagi Akhirun Piliang, Direktur Utama PT Dalihan Na Tolu Grup, dan anaknya, Muhammad Rayhan Dulasmi Piliang, Direktur PT Rona Na Mora. Kedua pengusaha itu melakukan suap untuk mendapatkan dua proyek pembangunan jalan, Sipiongot-Batas Labuhanbatu dan Hutaimbaru-Sipiongot di Kabupaten Padang Lawas Utara, yang menggunakan dana APBD Provinsi Sumatra Utara 2025.
Soal suap itu didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Eko Prayitno, dalam sidang di Pengadilan Tipikor Medan, Rabu, 5 November 2025 lalu. Lantaran suap, Eko Prayitno menuntut Akhirun tiga tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider enam bulan kurungan. Sementara Rayhan dituntut dua tahun enam bulan penjara dengan denda Rp100 juta subsider enam bulan.
Saat Topan Obaja Putra Ginting diperiksa KPK sebagai salah seorang tersangka kasus korupsi dua proyek jalan Sipiongot–batas Labuhanbatu dan Hutaimbaru–Padang Lawas Utara, ia mengaku mendapat Rp2 miliar sebagai pembayaran awal dari komitmen fee sebesar 4–5 persen atau setara Rp9–11 miliar dari total nilai proyek Rp231,8 miliar
“Keduanya terbukti menyuap mantan Kepala Dinas PUPR Sumut, Topan Ginting, dan sejumlah pejabat lainnya senilai Rp4,05 miliar untuk memuluskan proyek jalan Sipiongot–batas Labuhanbatu dan Hutaimbaru–Padang Lawas Utara,” kata Eko dalam pembacaan tuntutan.
Suap yang dimaksud Jaksa Eko, oleh Topan Obaja Putra Ginting, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sumut, disebut sebagai komitmen fee proyek sebesar 4-5% dari pagu proyek.
Saat Topan Obaja Putra Ginting diperiksa KPK sebagai salah seorang tersangka kasus korupsi dua proyek jalan Sipiongot–batas Labuhanbatu dan Hutaimbaru–Padang Lawas Utara, ia mengaku mendapat Rp2 miliar sebagai pembayaran awal dari komitmen fee sebesar 4–5 persen atau setara Rp9–11 miliar dari total nilai proyek Rp231,8 miliar.
Komitmen fee proyek telah menjadi kebiasaan yang mengakar di kalangan pengusaha konstruksi di Sumut. Bagi siapa saja yang ingin mendapatkan pekerjaan berupa proyek yang didanai APBD, harus lebih dahulu mengeluarkan fee proyek yang besarannya mencapai 4-10% dari nilai proyek. Besaran fee ini tergantung pada negosiasi awal antara pengusaha kontruksi dengan pejabat terkait pembuat komitmen.
Kebiasaan buruk ini menyebabkan, hanya pengusaha kontraktor yang memiliki modal besar yang akan mendapatkan proyek fisik yang dibiayai APBD. Padahal, hak untuk berusaha di bidang konstruksi bisa diperoleh jika memenuhi syarat administrasi izin usaha seperti memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB), Sertifikat Badan Usaha (SBU), Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK), Sertifikat Keahlian (SKA).
Memiliki legalitas secara administrasi bukan jaminan bisa berusaha konstruksi. Setiap pengusaha konstruksi harus berkomitmen untuk mengeluarkan uang fee, yang sesungguhnya sebuah usaha menyuap para pejabat terkait agar diberi kemudahan mendapat proyek yang dibiayai dana APBD.
PT Dalihan Na Tolu Grup dan PT Rona Na Mora, dua perusahaan yang acap memenangi proyek pembangunan fisik di Sumut. Kedua perusahaan ini terbukti menyuap untuk mendapatkan dua proyek pembangunan jalan yang kini jadi objek sengketa di KPK.
Sumber Sinar Tabagsel di lingkungan Dinas PUPR Sumut mengatakan, hampir semua kontraktor melakukan apa yang dilakukan pemilik PT Dalihan Na Tolu Grup dan PT Rona Na Mora. Para pemilik perusahaan konstruksi bernegosiasi dengan pejabat pembuat komitmen tentang besaran komitmen fee proyek.
Sultoni mengatakan, proses negosiasi itu berlangsung alot. Proses tawar menawar diarahkan pada berapa persen kesanggupan pengusaha kontruksi untuk memberikan fee proyek kepada pejabat pembuat komitmen. Semakin besar persentase fee proyek yang diberikan, maka semakin besar peluang pengusaha kontruksi bersangkutan untuk mendapatkan pekerjaan proyek fisik yang dibiayak APBD.
"Tak jarang, pengusaha konstruksi memberikan dana di awal sebelum APBD baru dipikirkan. Dana awal itu menjadi semacam pengikat dari kontraktor agar pejabat pembuat komitmen tidak lari," kata Sultoni.
Di mata hukum, sebagaimana penjelasan Jaksa Eko, Akhirun dan Rayhan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 65 ayat (1) KUHP, serta Pasal 13 UU Tipikor.
Meskipun fee proyek itu illegal, sejumlah pengusaha konstruksi mengakui komitmen fee proyek itu merupakan syarat utama yang tidak tertulis. Para pejabat pemerintah daerah, baik Kepala Daerah, pimpinan SKPD, maupun pejabat pembuat komitmen, lebih dahulu membicarakan tentang komitmen fee proyek dengan para pengusaha konstruksi.
Meskipun fee proyek itu illegal, sejumlah pengusaha konstruksi yang ditemui Sinar Tabagsel mengakui komitmen fee proyek itu merupakan syarat utama yang tidak tertulis. Para pejabat pemerintah daerah, baik Kepala Daerah, pimpinan SKPD, maupun pejabat pembuat komitmen, lebih dahulu membicarakan tentang komitmen fee proyek dengan para pengusaha konstruksi.
"Ada juga kontraktor yang membuat komitemen fee proyek dengan membiayai calon Kepala Daerah saat Pilkada. Begitu Kepala Daerah bersangkutan terpilih, kontraktor itu yang akan memegang kunci pengerjaan semua proyek fisik yang ada di lingkungan SKPD," kata Marzuki.
Marzuki salah seorang kontraktor, mengaku sering mendapat bagian proyek dari kontraktor yang memiliki kedekatan hubungan dengan Kepala Daerah. Katanya, para pengusaha konstruksi tertentu memonopoli proyek-proyek yang ada di lingkungan SKPD, dan posisi mereka tidak bisa diganggu gugat karena hubungannya dengan kepala daerah telah terbina sejak masa Pilkada.
Penulis: Budi Hutasuhut | Editor: Nasaktion Efry

Posting Komentar