Firli Bahuri, KPK, dan Gratifikasi

Penetapan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka kasus pemerasan eks Menteri Pertanian, Syahrul Yasim Limpo, oleh  Polda Metro Jaya sebuah musibah bagi upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.  Penetapan ini membuat citra KPK dan Kepolisian Republkik nIndonesia (Polri) menjadi jatuh.

Disebut musibah karena kasus hukum yang disangkakan kepada Firli Bahuri berkaitan dengan gratifikasi. Kita tahu, KPK sangat getol mensosialisasikan pemberantasan gratifikasi karena gratifikasi akar lahirnya tindakan korupsi.  KPK punya tradisi memberikan penghargaan kepada lembaga-lembaga negara yang sukses dalam gerakan antigratifikasi.

Dalam program kerja KPK disebutkan,  pengendalian terhadap gratifikasi sangat diperlukan karena gratifikasi salah satu bentuk tindakan korupsi. Gratifikasi adalah bentuk suap yang tertunda, suap yang terselubung dan akar dari tindakan korupsi itu sendiri.

Kenyataannya, Ketua KPK sendiri ternyata terjerat kasus gratifikasi. Informasi yang berkembang menyebutkan, Firli Bahuri meminta pertemuan dengan Syahrul Yasim Limpo yang diduga terlibat kasus korupsi di Kementerian Pertanian. 

Konon, pertemuan itu untuk tawar-menawar harga. Ada upaya jual-beli perkara. KPK yang dipimpin Firli Bahuri mengharapkan agar Syahrul Yasim Limpo memberikan sesuatu yang diinginkan agar kasus dugaan korupsinya tidak diungkap ke publik. Sayang, pertemuan Firli Bahuri dengan Syahrul Yasim Limpo itu terendus dan menyebar di media sosial. 

Negosiasi pun gagal dan KPK langsung menetapkan Syahrul Yasim Limpo sebagai tersangka dan ditangkap. Namun, pertemuan Firli Bahuri dengan Syahrul Yasim Limpo itu berbuntut panjang. 

Pasalnya, petugas yang bertindak melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus dugaan korupsi, tidak dibenarkan menemui calon tersangka. Namun, Firli Bahuri ternyata bertemu dengan Syahrul Yasim Limpo sebelum ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi di Kementerian Pertanian. 

Publik kecewa dan menuntut agar Polda Metro Jaya mengusut kasus gratifikasi ini. Tapi, keseriusan Polda Metro Jaya diragukan mengingat Firli Bahuri merupakan anggota Keluarga Besar Kepolisian Republik Indonesia. 

Firli Bahuri adalah Komisaris Jenderal Purnawirawan Polri, perwira tinggi bintang tiga. Ketika memutuskan mencalonkan diri jadi Ketua KPK,  status Firli Bahuri adalah Kapolda Sumatra Selatan. Jabatan strategis itu ditinggalkannya hanya untuk menjadi Ketua KPK. 

Sebagai pati Polri berpangkat Komjend, tak mudah bagi Polda Metro jaya untuk menyelidiki kasus yang melibatkan Firli Bahuri. Polda Metro Jaya yang dipimpin oleh seorang pati berpangkat Inspektur Jenderal (Irjend) itu, harus ekstra serius karena kasus ini berimplikasi terhadap menurunnya citra Polri di mata publik. 

Dan, memang, penetapan Firli bahuri sebagai tersangka, membuat citra Polri menjadi semakin hancur. Kondisi ini makin mengfkhawatirkan. Ekspektasi terhadap lembaga penegakan hukum yang akan bekerja keras memberantas korupsi menjadi runtuh. 




alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes