Iman Sembada lahir di Nglejok, sebuah dusun kecil yang terletak di wilayah Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Selain menulis puisi, ia juga menulis cerpen dan melukis. Buku antologi puisi tunggalnya Airmata Suku Bangsa (2004), Perempuan Bulan Ranjang (2016) dan Orang Jawa di Suriname (2019). Biografinya juga termaktub dalam buku Apa & Siapa Penyair Indonesia (2017). Aktif di Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Kini ia bermukim di Depok, Jawa Barat.
Berikut ini puisi-puisinya:
Hujan Pagi Ini
Apa yang kau tahu tentang hujan pagi ini?
Selebihnya adalah dingin dan kenangan --
Tapi kau dan aku masih bisa sama-sama rindu
Di antara bangku-bangku bisu di ruang tunggu
Selebihnya adalah dingin dan kenangan --
Tapi kau dan aku masih bisa sama-sama rindu
Di antara bangku-bangku bisu di ruang tunggu
Aku keluar dari pintu apartemen, melihat
Lalat-lalat beterbangan. Lalat-lalat yang
Ingin membuat musim yang lain. Kota-kota
Telah berlalu. Ke mana burung-burung pergi
Dari taman-taman kota? Wajah-wajah pucat
Di depan pabrik-pabrik tua sudah lama tutup
Lalat-lalat beterbangan. Lalat-lalat yang
Ingin membuat musim yang lain. Kota-kota
Telah berlalu. Ke mana burung-burung pergi
Dari taman-taman kota? Wajah-wajah pucat
Di depan pabrik-pabrik tua sudah lama tutup
Hujan masih turun. Hujan yang menumbuhkan
Kenangan di ujung-ujung ingatanku. Air mulai
Menggenangi jalan-jalan. Sebuah motor bebek
Berlalu. Melaju dengan kecepatan 80 km/jam
Kenangan di ujung-ujung ingatanku. Air mulai
Menggenangi jalan-jalan. Sebuah motor bebek
Berlalu. Melaju dengan kecepatan 80 km/jam
Hawa dingin menyelinap ke balik jaketku. Lalu
Aku membayangkan bibirmu berevolusi jadi
Sebuah senyuman. Kau sedang berziarah
Ke tanah moyangmu. Lalat-lalat beterbangan
Dari bau busuk. Payungku goyah tak mampu
Menahan bau busuk yang lain. Orang-orang
Saling diam. Bau comberan bergerak ke udara
Aku membayangkan bibirmu berevolusi jadi
Sebuah senyuman. Kau sedang berziarah
Ke tanah moyangmu. Lalat-lalat beterbangan
Dari bau busuk. Payungku goyah tak mampu
Menahan bau busuk yang lain. Orang-orang
Saling diam. Bau comberan bergerak ke udara
Cinere, November 2022
Aku Mengarang Lagi
Percaya. Sebuah jembatan melintang
Di atas sungai. Aku melihat masa kecilmu
Berlumut di batu-batu, di dasar sungai itu
Aku membuat kalimat-kalimat baru dari
Rasa haru berkepanjangan. Huruf-huruf
Bermunculan di layar laptopku. Aku melihat
Bayangan mengelupas dari dinding-dinding
Yang sedang direnovasi. Sebuah nama masih
Tersimpan dalam ingatanku, 25 tahun yang lalu
Sebuah kenangan. Cahaya mencahayai cahaya:
Airmata kini bukan lagi dari kesedihan
Aku mengarang lagi. Tapi kau masih tidak
Percaya. Mengarang waktu yang bukan lagi
Malam. Mengarang waktu yang juga bukan
Lagi usia. Tubuhku gemetar menahan sisa-sisa
Flu dan demam. Angin memboyong sebuah malam
Ke rumahmu. Seorang gelandangan menyimpan sunyi
Dalam ranselnya. Aku mengarang tanpa rekening bank
Ada sebuah masjid dalam dzikirku. Dan ada
Sebuah gereja dalam nyanyianmu. Di luar kamarmu
Musim kemarau akan segera berakhir. Esok lusa
Aku pinjamkan biografiku kepada orang-orang
Untuk memasuki istana seorang presiden
Jalanan, November 2022
Aku Mencari Seorang Ibu
Dari sebuah puisi. Aku kehilangan semua
Jejak-jejaknya. Barangkali ia sudah jauh
Berjalan. Berjalan setengah lingkaran bumi
Bumi adalah tempat Adam dan Hawa
Pertama kali mengalami derita. Telah
Kumasuki bangunan-bangunan batu
Batu-batu yang telah menyusun dirinya
Sendiri di malam hari. Aku tidak mencari
Hantu, aku sedang mencari seorang ibu
Yang bermata hijau, seperti warna hutan
Siapa yang membuat hutan-hutan terbakar
Setiap musim kemarau? Siapa yang menghapus
Jalan pulang seorang ibu ke sebuah puisi?
Ada kenangan-kenangan yang mengapung
Di udara. Kenangan-kenangan yang terbuat
Dari sulur-sulur waktu. Setiap yang pergi
Segera menjadi masa lalu paling ungu
Seorang ibu keluar dari sebuah puisi
Berkali-kali membelah diri menjadi
Kobaran api dan kisah-kisah lain
Jalanan, 29 Agustus 2022
Waktu Telah Menjadi Pisau
Aku meraihnya untuk mengiris
Wortel dan tomat -- aku ingin
Membuat jus. Sebuah pagi tercipta
Dari suara blender dan langkah kaki
Anak-anak ke sekolah. Tapi mata pisau
Lebih tajam daripada mata pelajaran
Langit mengelupas. Awan-awan
Bergeser membuat jalan cahaya
Matahari. Baling-baling blender
Melumat wortel dan tomat, seperti
Mesin-mesin penghancur bahasa
Waktu telah menjadi pisau
Tajamnya bisa memutus urat nadi
Sebuah pisau. Sebilah risau
Kuletakkan di rak piring. Suara air
Menetes-netes dari kran wastafel
Yang bocor. Aku memotret keramaian
Jalan raya dari jendela apartemen
Setengah terbuka. Mimpi-mimpiku
Berjatuhan dari tempat tidur. Aku
Minum jus. Aku melupakan waktu
Juga melupakan pisau yang risau
Cinere, Agustus 2022
Sebuah Kafe Memerangkap Tubuhku
Aku tak tahu: mana yang lebih maut antara mata
Pisau dan lirikan matamu. Udara lembab berjalan
Di punggungku. Kenapa kalimat peringatan selalu
Ditulis dengan huruf kapital? Angin ribut dalam pikiranku
Nota belanja telah menjelma daftar menu di atas
Meja. Ada yang datang, ada yang pergi. Aku butuh
Makanan untuk nanti malam. Kau ingin teman untuk
Bercerita tentang lipstik yang patah. Tapi apakah aku
Seorang teman? Lalu aroma parfummu menyelinap
Di kerah bajuku. Semut-semut merubung sisa makanan
Di lantai. Ada bayangan berkelebat di kaca nako
Seperti garis-garis abstraksi sore menuju malam
Sebuah kafe. Sebuah sore yang banyak jendela
Dan sebuah pintu yang membuka dan menutup
Untuk keinginan-keinginan yang melintas. Aku pernah
Dicengkeram musim-musim yang meriang. Aku ingin
Pergi, tapi tanganmu segera meraih lenganku. Kau
Katakan bahwa debu-debu telah menjadi ancaman
Yang ditebarkan angin. Di luar orang-orang segera
Berlalu. Detik berlalu. Aku tak mampu menahan waktu
Depok, Agustus 2022
Posting Komentar