Cerpen: Sapi Dajjal

Oleh: Bang Harlem | Penulis cerpen, tinggal di Padang Sidimpuan

Ilustrasi: Budi Hatees

Kampung terpencil itu jadi sorotan sejumlah media massa dan buah bibir orang di mana-mana lantaran lahir seekor anak sapi bermata satu. Mata bulat itu seukuran telur bebek, menempel tepat di tengah-tengah  kepalanya, persisnya di bagian jidat. 

"Dajjal! Ini Dajjal!” Sofyan, salah seorang warga,  berteriak. Sontak suaranya yang nyaring itu mengundang perhatian orang-orang yang berkerumun, menatap Sofyan dengan sorot mata heran, lalu menatap anak sapi itu kembali. “Sapi ini akan mengundang musibah di kampung kita.” 

“Mana ada sapi Dajjal!” Sugi membela sapi miliknya. 

 “Aku juga tidak yakin sapi ini sungguh-sungguh anak sapi,” Sofyan dan kini dia menatap mata setiap orang yang datang mengerumuni kandang sapi. "Kalian lihat sendiri! Matanya itu...ah, bukankah itu mata dajjal. Mata Dajjal itu satu, persis seperti mata sapi itu." 

“Jangan ngawur kau!” Sugi mulai tak senang. "Otak kau rusak ya."

 “Kenapa?!" Sofyan melotot. "Kenapa kau begitu membela sapi ini?" Sofyan kembali menatap orang-orang yang berkerumun. "Kalian lihat kan! Aku yakin dia yang menghamili induk sapinya, lalu lahir Dajjal ini?” 

“Jaga bicaramu setan!”  

Suara Sugi yang membentak membuat orang-orang kaget. Sontak mereka memelototi Sugi, lalu ikut menuduh Sugi telah menjadi penyebab kelahiran Dajjal itu.  Sugi marah, menerjang Sofyan. Perkelahian terjadi. Suasana di kandang sapi jadi kacau. Beberapa warga merasa mendapatkan suguhan tontonan, membiarkan perkelahian itu terjadi. Beberapa lainnya mengamati Dajjal itu, anak sapi yang terlihat lemah, berbaring di atas rumput. Induknya tampak ketakutan, apalagi setelah beberapa orang mengusir induk sapi itu menjauh dari Dajjal tersebut.

Dajjal bermata satu itu tampak pasrah ketika beberapa orang berusaha memegang, mengelus, bahkan mengajaknya berswafoto. Tterdengar suara kayu patah, kandang itu rusak karena terlalu banyak orang sementara perkelahian terus terjadi.

Kondisi kembali normal ketika Pak Kades muncul. Dia melerai perkelahian. Beberapa warga dimarahi karena membiarkan perkelahian itu. Orang-orang malah tertawa.

Dengan wajah memar dan hidung berdarah, Sugi pulang ke rumahnya. Tiba di rumah, ibunya memarahinya karena pulang dalam keadaan luka. "Kalau begini terus, kita bisa hancur. Bagaimana sapi-sapi itu!" tanya ibunya.

Sugi menceritakan kejadian yang baru dialaminya.

 *** 

Sejak kemunculan Dajjal itu, petaka demi petaka menghampiri kampung. Tiba-tiba kemarau panjang terjadi, padahal tidak pernah terjadi sebelumnya. Aliran sungai mengecil, padang rumput yang semula hamparan permadani hijau, berubah tandus dan berdebu. Ternak-ternak jadi kurus dan penyakitan karena tidak ada lagi rumput untuk makanannya.

Para warga berkeluh kesah karena gagal panen. Cobaan makin bertambah setelah infeksi pernapasan mewabah, satu per satu korban jiwa mulai jatuh. Ayah Sugi satunya. Laki-laki yang sudah lama sakit itu, akhirnya pergi. 

“Apa aku bilang waktu itu? Sekarang terbukti kan!" Sofyan membusungkan dadanya di hadapan beberapa warga. "Dajjal itu mengutuk kampung kita. 

“Kambing-kambingku banyak yang mati." Yono mengeluh. "Semua ini Dajjal itu."

“Kita sudah dikutuk!" teriak Maman. "Bapakku sakit-sakitan. Aku harus jual sawah untuk biaya berobatnya."  

“Oh, sawahnya udah laku?" Sofyan tiba-tiba menyambar.

“Belum. Harganya belum ada yang cocok “

“Kebetulan perusahahan tempatku bekerja mencari lahan untuk perluasan tambang nikel. Mereka bersedia memberi harga tinggi ,“ kata Sofyan. 

“Berapa mereka mau bayar sawahku?"

“Baik, nanti aku ajak mereka ke rumahmu." Sofyan sumringah. "Kalau ada yang lainnya yang mau jual tanah, kasih tahu aku mau beli. Tanah di sini sudah dikutuk Dajjal. Tidak bisa lagi dimanfaatkan untuk bertani. Semua ini garagara Dajjal itu."

"Kita harus bunuh Dajjal itu!" teriak seseorang.

"Ya."

"Ya."

Sugi sangat terpukul mendengar warga menuduh sapinya sebagai Dajjal dan akan membunuh sapi itu supaya kutukannya terputus. Dia protes, tapi orang-orang tak mendengarkannya lagi. Sugi membela sapinya, tapi orang-orang menuduhnya yang bukan-bukan. Sugi marah, emosi, dan tak bisa menyalurka semuanya. Kecamana warga itu membuat ibunya tertekan, daakhirnya jantungan. Beberapa hari kemudian, ibunya meninggal.  

Sugi semakin terpukul. Dia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Suatu malam, dia memasuki kandang sapi Dajjal itu. Di tangannya sebilah parang digenggam. Dia menatap Dajjal itu, lalu menggoroknya.

Hitungan menit, kepala sapi itu putus. Sugi bersimpuh di tanah. Tiba-tiba dia tertawa, lalu berlari ke arah bukit tempat dia biasa menggembalakan sapi-sapinya. 

 *** 

Tak ada yang tahu Sugi pergi ke mana. Orang-orang hanya tahu, Dajjal itu telah mati. Tapi, ternyata, semua sapi di kandang mati. Orang-orang bersyukur. Mereka berharap kutukan itu tak ada lagi. 

Tapi, setelah beberapekan, tak ada yang berubah di kampung itu. Kemarau masih berlangsung, tanah kering kerontang. Malah, semakin parah karena kelaparan juga menyerang. Banyak korban jiwa. Tak tahan dengan situasi, penduduk kampung yang tersisa memilih meninggalkan kampung itu setelah sebelumnya bersedia menjual tanah mereka kepada Sofyan, dan Sofyan menjual tanah itu kepada perusahaan tambang nikel.

"Kau hebat," puji pemilik tambang nikel. "Kau bisa mengusir semua warga seorang diri. Kami sudah berusaha sejak lama tapi selalu gagal."


alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes