Penulis: Hady Kurniawan | Jurnalis Sinar Tabagsel
Inilah negeri kita. Segala bagai mimpi, tapi ini kenyataan sudah terjadi. Sebanyak Rp500 triliun uang APBN 2022 untuk menangulangi masalah kemiskinan justru dihabiskan untuk program-program rapat atau seminar tentang kemiskinan di hotel-hotel dan perkara wisata yang dikemas sebagai studi banding.
Pernyataan ini disampaikan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Abdullah Azwar Anas, sambil mengigit gerahamnya. Sontak pernyataan ini menjadi sorotan masyarakat karena tak masuk akal, apalagi kemiskinan tetap menjadi persoalan krusial di negeri ini.
Seandainya uang Rp500 triliun itu dibagi-bagikan ke daerah-daerah yang menghadapi masalah kemiskinan paling akut, bisa dibayangkan akan seperti apa dampaknya, apalagi jika pembagian itu diikuti dengan program atau kegiatan yang produki.
Tapi, di Indonesia perkara bagi-membagi itu bukan urusan mudah, apalagi yang dibagikan itu dana dari APBN 2022. Meskipun dana itu sudah di-plot untuk program pengentasan kemiskinan, tidak serta-merta bisa dibagi-bagikan langsung ke tangan orang miskin.
Perkara bagi-bagi uang tunai sudah ada dalam program bantuan sosial. Tiap tahun, APBN digelontorkan dalam bentuk pemberian uang tunai kepada rakyat miskin. Meskipun, mereka yang menerima uang tunai bantuan sosial itu sering tidak benar-benar miskin, tapi berpura-pura miskin karena punya hubungan dengan pihak yang bertanggung jawab mendata masyarakat miskin penerima bantuan.
Di desa-desa, mereka yang menerima bantuan sosial berupa uang tunai itu sering merupakan kerabat dari aparatur desa. Sebab, bagi aparatur desa, memberi sedekah harus dimulai dari kerabat dekat, seakan-akan dana bantuan sosial itu dirogoh dari kocek nenek moyangnya.
Tapi itu realitas sesungguhnya. Di tingkat masyarakat, pemberantasan kemiskinan itu dihadapkan pada kultur tradisional yang lebih memberi tempat kepada kerabat. Di tingkat pejabat, yakni para pengambil keputusan dalam program pemberantasan kemiskinan, yang terjadi justru dana APBN 2022 sebesar Rp500 triliun dihabiskan untuk rapat dan studi banding.
Di level atas sampai level bawah, tak ada yang serius mengatasi kemiskinan. Orang-orang justru lebih serius mempertahankan kemiskinan agar anggaran selalu ada, dan mereka tetap dapat meraih keuntungan-keuntungan dari kemiskinan itu.
Akibatnya, anggaran Rp500 triliun yang habis cuma-cuma untuk program rapat dan seminar kemiskinan itu, hanya berhasil menurunkan tingkat kemiskinan 0,6%. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, penurunan jumlah penduduk miskin pada periode Maret 2022 sebanyak 26,16 juta orang atau setara 9,54% dari total penduduk, dan porsinya turun 0,6% poin dari posisi Maret 2021.
Per September 2022, BPS mencatat angka tingkat kemiskinan di Indonesia sebesar 9,57 persen, menurun dibanding tingkat kemiskinan pada September 2021 sebesar 9,71 persen. Namun, dibandingkan posisi Maret 2022 yang sebesar 9,54%, tingkat kemiskinan September itu naik 0,03% karena penduduk miskin di Indonesia 26,36 juta orang per September 2022 atau naik sebesar 200 ribu orang dari posisi Maret 2022.
Kenaikan tingkat kemiskinan selama periode Maret hingga September 2022 disebabkan berbagai faktor, salah satunya penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Sebagai catatan, BBM dan beras merupakan komoditas yang berpengaruh pada tingkat kemiskinan. Penduduk miskin memang tidak memiliki kendaraan. Tetapi kenaikan harga BBM memicu kenaikan harga pangan.
Nah, seandainya Rp500 tliun itu dialokasikan untuk mengatasi harga pangan, atau malah mensubsidi BBM agar harga turun, bisa dipastikan angka kemiskinan juga akan turun. Tapi, uang Rp500 triliun itu sudah habis dan kemiskinan tetap jadi persoalan krusial.

Posting Komentar