Penulis: Efry Nasaktion | Editor: Budi Hatees
Nyaris semua sungai yang mengaliri di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, "disegel" oleh masyarakat sebagai lubuk larangan. Ikan yang hidup dan berkembang-biak di sungai-sungai ini tak boleh ditangkap selama kurun tertentu. Sayangnya, kearifan budaya tak benda yang masuk dalam kategori pengetahuan tradisional ini tidak mendapat pengakuan dari pemerintah daerah sebagai nilai budaya yang harus dilestarikan agar bisa diwariskan.
MINGGU, 7 Agustus 2022, azan Subuh baru selesai bergema dari masjid di Desa Gunungtua Baringin, Kecamatan Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan, ketika puluhan sepeda motor dan mobil masuk ke perkampungan yang biasa senyap itu. Dua dusunnya, Mosa Jae dan Mosa Julu, mendadak riuh oleh bunyi mesin kendaraan. Ratusan orang yang mengendarai kendaraan-kendaraan tersebut, langsung bergegas menuju Aek Mosa, sungai jernih yang melintasi desa yang terletak di pinggir kawasan Hutan Angkola Selatan tersebut.
"Mencari tempat," kata Ibrahim Siregar (45), warga Kelurahan Batunadua Jae, Kecamatan Batunadua Padangsidimpuan, Kota Padang Sidimpuan. Dia terlihat tergesa-gesa sambil membawa jala di pundak kanan dan sebuah keranjang bambu tergenggam di tangan kirinya. "Nanti aku tak dapat tempat." Dia menolak diajak bercakap-cakap sambil tersenyum.
Ibrahim Siregar hanya satu dari ratusan orang yang membuat riuh Desa Gunungtua Baringin, terutama di Dusun Mosa Jae dan Mosa Julu. Masyarakat di dua dusun ini sedang menggelar kegiatan "membuka segel lubuk larangan" kepada masyarakat umum. Siapa saja, tanpa pengecualian, boleh datang untuk menangkap ikan.
"Setiap peserta harus mendaftarkan diri ke panitia supaya bisa dikontrol. Setiap peserta membayar Rp100.000 per satu jalan. Hanya pakai jala yang berbayar," kata Yasmi Harahap, warga Dusun Mosa Jae, salah seorang panitia yang bertugas di bagian mengawasi para peserta. "Yang ditunjuk sebagai panitia tahun ini kaum ibu," tambahnya.
Ibu-ibu warga Dusun Mosa Jae dan Mosa Julu tampak sigap menghampiri orang-orang yang sengaja datang untuk ikut "membuka segel lubuk larangan". Ada yang bertindak sebagai penunjuk arah, ada yang sibuk mengarahkan calon peserta ke meja pendaftaran. Mereka juga tampak di sepanjang Aek Mosa, mengawasi para peserta dan berjaga-jaga kalau-kalau ada yang mencuri start.
Empat buah meja plastik ditaruh di pinggir mulut gang menuju Aek Mosa, sungai tempat lubuk larangan itu. Pada tiap meja duduk seorang perempuan, masing-masing bertugas mencatat nama setiap peserta, menerima uang pendaftaran, dan membagikan tanda pengenal kepada peserta.
Panitia mengabarkan, acara "membuka segel lubuk larangan" akan dimulai, teng pada pukul 07.00 Wib. Penandanya, ada suara petasan yang diledakkan. Sebelum pukul 07.00 Wib, para peserta yang berasal dari berbagai daerah (Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Kota Padang Sidimpuan, dan Kabupaten Padanglawas Utara), sudah sampai di Desa Gunungtua Baringin. Tidak sedikit dari peserta yang sudah tiba sehari sebelumnya.
Peserta yang datang, langsung menuju ke pinggir Aek Mosa mencari lokasi yang tepat untuk melemparkan jala. Mereka menunggu di lokasi yang telah ditentukannya sampai tanda "membuka segel lubuk larangan" dinyalakan panitia. Ada juga peserta yang memutuskan membangun tenda di pinggir Aek Mosa, berjaga-jaga di sana sejak sehari sebelum acara dibuka.
Sebuah insiden terjadi, ada peserta yang mencuri start. Sebelum bunyi petasan terdengar dan sebelum jarum jam menunjuk pukul 07.00 Wib, salah seorang peserta sudah melempar jalan ke dalam lubuk di Aek Mosa itu. Sontak, gerakannya disambut peserta lainnya, mlemparkan jala masing-masing ke dalam lubuk.
Melihat hal itu, ibu-ibu yang menjadi panitia, sontak marah dan memberi sanksi kepada peserta. Tapi, sanksi itu tidak mengubah keadaan. "Segel lubuk larangan" sudah terbuka, dan peserta berebut mencari ikan. Larangan dari panitia agar peserta berhenti, tidak digubris. Peserta berebut menangkap ikan.
Warisan Budaya Untuk Alam
Tiap tahun, masyarakat di Desa gunungtua Baringin, Kecamatan Angkola Selatan, melakukan tradisi "membuka segel lubuk larangan". Lubuk larangan itu meliputi merupakan kawasan sepanjang tiga kilometer di sepanjang Sungai Mosa yang telah disepakati bersama sebagai kawasan terlarang untuk mengambil ikan baik dengan cara apapun apalagi dengan cara yang dapat merusak lingkungan sungai. Kesepakatan ini tertuang dalam aturan desa (hukum adat yang berlaku) dengan dikuatkan oleh para hatobangon (orang tua) dan tokoh adat desa.
Pemanena/pembukaan lubuk larangan dilakukan setahun sekali yang diputuskan melalui kesepakatan antar pengelola dalam masyarakat desatersebut. Biasanya pembukaan lubuk larangan dilakukan pada musim kemarau atau menjelang idul fitri. Dengan menggunakan alat yang ramah lingkungan seperti jala, jaring dan pancing.
Lubuk larangan, disadari atau tidak, merupakan bentuk kearifan budaya yang bertujuan untuk melestarikan alam serta menjaga kelangsungan makhluk hidup di dalamnya. Secara ekologi dampak kearifan lokal budaya lubuk larangan adalah mencegah kerusakan lingkungan sungai, menanggulangi kerusakan sungai dan memulihkan kerusakan lingkungan air serta ekosistem air. Ikan-ikan yang ada di lubuk larangan juga akan terus terjaga karena di lubuk larangan hanya diperbolehkan menangkap ikan satu kali dalam satu tahun.
Peralatan yang digunakan dalam memanen ikan di lubuk larangan dapat memberikan dampak positif kepada lingkungan sekitarnya. Ikan ditangkap menggunakan peralatan tradisional seperti jalan. Hal ini bertujuan agar ikan-ikan berukuran kecil tidak tertangkap sehingga memiliki kesempatan untuk tumbuh dan bertelur. Peralatan-peralatan yang digunakan tersebut sangat ramah terhadap lingkungan dan tidak akan memberikan dampak negatif pada sungai ataupun ikan-ikan yang ada.
Budaya ini menjadi bukti nyata bahwa jika manusia dengan benar-benar menjaga alam, maka alam akan menjadi sahabat terbaik bagi manusia dengan harapan budaya ini terus didukung oleh semua pihak dan pemerintah sehingga dapat terjaga sampai ke generasi mendatang.
Dilansir dari laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, Lubuk Larangan adalah sebuah kearifan lokal masyarakat yang berkaitan dengan lingkungan. Lubuk Larangan yang ada di Desa Gunungtua Beringin banyak terdapat ikan asli dataran tinggi yang hidup di sungai tersebut seperti ikan garing, ikan lappam, kating, gabus, limbat, dan beberapa jenis ikan lainnya.
Lubuk Larangan memiliki fungsi yang sangat beragam,yaitu menjaga kelestarian hutan, air, tanah serta melestarikan adat istiadat setempat. Lubuk Laranganpun dapat bernilai secara ekonomis dan menjadi perekat kebersamaan dan kegotongroyongan masyarakat setempat. Sebuah tradisi yang sudah teruji.
Hasil Lubuk Larangan tidak hanya sebagai pemasukan kas desa, tradisi ini juga mampu memberikan rasa persaudaraan yang kuat, meningkatkan gotong royong, menciptakan rasa kekompakan masyarakat, menumbuhkan rasa peduli terhadap kampung dan berperan dalam pelestarian ikan, sungai serta hutan disekelilingnya. Selain masyarakat lokal, pendatang luar juga diperbolehkan untuk menangkap ikan selagi masih mengikuti aturan yang telah disepakati.
Posting Komentar