Semua orang, miskin ataupun kaya, terdampak pandemi Covid 19. Semua orang tanpa pengecualian telah menderita akibat wabah virus yang menakutkan dan memupuk rasa takut ini.
Tapi, kenapa hanya segelintir orang saja yang berhak mendapat bantuan sosial dari pemerintah sebesar Rp600.000 selama tiga bulan?
Mereka yang mendapat adalah mereka yang didata oleh pemerintah, dan kita tak pernah tahu kenapa alat ukur yang dipakai justru mengacu pada data lama terkait kesejateraan masyarakat?
Pemerintah pusat tak siap dengan kriteria terkait "terdampak pandemi Covid 19", lalu menyimpulkan bahwa mereka yang pernah terdata sebagai keluarga tidak sejahtera merupakan keluarga yang paling menderita akibat wabah ini.
Sebuah simpul yang tak selalu valid, karena pandemi Covid 19 telah melahirkan keluarga tidak sejahtera yang baru. Dengan kata lain, defenisi keluarga tidak sejahtera yang dipakai selama ini telah tak relevan lagi, sehingga pemerintah perlu mengevaluasi data-data lama. Artinya, jumlah keluarga tidak sejahtera telah bertambah karena pandemi Covid 19 memiskinkan bayak orang.
Petani, buruh, pedagang, pegawai swasta, wirausahawan, dan para profesonal bisnis yang penghasilannya sangat tergantung pada stabilitas perekonomian nasional, bisa disebut sebagai kelompok sosial yang akan bertambah sengsara karena kebijakan pembatasan sosial yang dibuat pemerintah. Lockdown yang diterapkan membuat aktivitas perekonomian terhenti, sehingga produktivitas menjadi stagnan. Penghasilan tak ada, tapi pengeluran melimpah untuk biaya kesehatan.
Nasib mereka berbeda dengan aparatur sipil negara (ASN) atau para pegawai di level menejer yang punya gaji bulanan dan tunjangan jabatan. Kebijakan pembatasan sosial maupun lockdown justru mengurangi beban kerja sementara penghasilan tak berkurang.
Bagi mereka, pandemi Covid 19 malah bisa jadi momentum untuk mengurangi pengeluaran dan meningkatkan jumlah tabungan.
Lantas, masyarakat kurang sejahtera yang mana yang akan mendapat bantuan sosial Rp600.000 per bulan selama tiga bulan?
Jika pemerintah memakai data lama, bukan mustahil akan menimbulkan ketimpangan sosial. Bantuan sosial yang diniatkan untuk mengurangi beban rakyat justru akan menjadi pemicu ketidakstabilan sosial, melahirkan konflik, dan akhirnya menyebabkan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat akan terganggu.
Persoalan semakin parah karena pemerintah pusat menyerahkan urusan membagi bantuan sosial kepada pemerintah daerah, padahal pemerintah daerah merupakan institusi negara yang sangat lemah dalam urusan database dan statistik.
Database tentang keluarga tak sejahtera, dari tahun ke tahun, tak kunjung diperbaharui. Data lama dipakai terus-menerus dengan sedikit dramatisasi jika berkaitan bantuan, dan sedikit manipulasi jika berhubungan dengan dana-dana dekonsentrasi.
Belum lagi kalau kemalasan telah menyerang cara berpikir para aparatur pemerintahan daerah, yang membuat mereka memilih melakukan kongkalikong ketimbang mengupayakan validitas data. Kongkalikong lebih cepat dan mudah, juga membawa keuntungan bagi pribadi yang suka memanfaatkan situasi.
Kongkalikong ini tinggal menunjuk keluarga dekat sebagai penerima bantun sosial, atau kerabat para pejabat, dan apapun pilihannya dianggap sah karena semua orang terdampak pandemi Covid 19.
Posting Komentar