Senjakala Pekerjaan Penjahit Sepatu di Padang Sidimpuan

 Penulis: Hady Kurniawan Harahap | Jurnalis di Sinar Tabagsel

 

Semakin berkualitas sepatu yang diproduksi pabrik, semakin berkurang rezeki para penjahit sepatu di Kota Padang Sidimpuan, Sumatra Utara. Usaha bidang jasa ini pun segera tersingkir, karena tempat usaha mereka akan ditertibkan pemerintah.

Di bawah payung mengembang, satu-satunya tempat berteduh dari sengatan matahari, Bang Tanjung mengelar usahanya: sebuah meja kecil tempat sejumlah sepatu ditumpuk, sol dan tapak sepatu yang masih baru, jarum dan gulungan benang nilon. Tiap hari, mulai pukul 09.00 Wib sampai jelang sore pukul 16.00 Wib, dia menunggu orang-orang datang menjahitkan sepatu atau sendal mereka.

Persis di samping Kantor Pos di Kota Padang Sidimpuan, Sumatra Utara, tepatnya di pinggir Jalan Patrice Lumumba,  di sanalah tempat usaha Bang Tanjung (39). Dia duduk di belakang meja kerjanya sambil, sekali-sekali, memanggil calon konsumen yang akan memanfaatkan jasanya. Di sampingnya, mereka membentuk barisan di pinggir jalan raya itu, ada delapan orang yang juga mengais rezeki dengan menawarkan jasa jahit sepatu.

Bang Tanjung tak pernah berhenti bekerja. Selalu ada sepatu yang harus dia jahit. Tangannya terampil, menjahi keliling  telapak sepatu yang rusak. “Kami dapat pemberitahuan. Dalam waktu dekat lapak kami akan ditertibkan oleh Pemda kota Padang Sidimpuan,“ kata Bang Tanjungm yang sudah sejak SMP menekuni dunia jahit sepatu tersebut.

Kekhawatirannya semakin beralasan, karena Pemda Kota Padang Sidimpuan melalui Satuan Polisi Pamong Praja mulai gencar melakukan razia dan pembersihan. Bahkan, petugas yang biasanya datang memungut iuran kebersihan, beberapa hari belakangan sudah tidak pernah muncul.

Bang Tanjung mengaku, dia dan penjahit sepatu lainnya cemas karena pendapatan mereka akan semakin berkurang. Pelanggan yang selama ini telah mengetahui titik keberadaan mereka,  akan kesulitan menemukan lokasi mereka jika suatu saat harus pindah. 

"Sudah makin jarang yang datang menjahitkan sepatu. Dalam sehari dapat tujuh pasang sepatu sudah bersyukur. Kalau dulu dalam sehari malah bisa dapat tiga puluh pasang sepatu,“ katanya.

Menurutnya, munculnya sepatu dengan harga yang relatif murah menjadi penyebab enggannya orang-orang memperbaiki sepatu mereka yang rusak. Bahkan, untuk beberapa sepatu-sepatu KW yang kerap menggelar lapak di pinggir jalan, bisa dibungkus hanya tidak sampai Rp100.000. Belum lagi sekarang penjualan sepatu-sepatu bekas bermerk terkenal juga tak luput jadi incaran orang-orang. Sementara untuk menjahit sepatu yang rusak harus mengeluarkan biaya Rp40.000. Ketimbang memperbaikinya, orang-orang cenderung memutuskan menambahkan sedikit uang lagi agar bisa membeli sepatu baru.

Menurut pria yang telah memiliki tiga orang anak itu, selama mendirikan lapak jahit sepatu di bahu Jalan Patrice Lumumba, dia hanya dikenakan uang kebersihan Rp2000 tanpa ada biaya tambahah lainnya.

alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes