Sejarah Awal Kota Padangsidimpuan (1)


Sejarah Kota Padangsidimpuan yang dipahami masyarakat saat ini bias kepentingan kolonialisme Pemerintah Hindia Belanda.

Penulis: Budi Hatees | peminat sejarah

Nyaris tidak ada ahli sejarah yang membicarakan Kota Padangsidimpuan secara khusus. Memang ada orang yang lahir atau pernah bersentuhan dengan Kota Padangsidimpuan membicarakan kota yang terletak di Provinsi Sumatra Utara, tapi pembicaraannya serbaringkas. Terutama pembicaraan-pembicaraan yang dipacu oleh semangat tourism,  karena hanya hal-hal yang mengesankannya yang dibicarakan, meskipun ada banyak hal yang mengesankan di Kota Padangsidimpuan tetapi kurang diketahui publik.

Bagi para ahli sejarah, atau mereka yang punya ketertarikan terhadap sejarah Kota Padangsidimpuan, biasanya membicarakan kota ini sembari mengutif referensi yang pernah dibuat pada abad ke-19. Referensi itu sangat kuat dipengaruhi semangat kolonialisme, karena bentuknya berupa catatan pribadi, surat-surat, atau kesan-kesan yang ditulis oleh orang-orang Eropa (terutama pejabat di lingkungan Pemerintah Hindia Belanda) saat datang atau tinggal di Kota Padangsidimpuan.  Namun, sulit menemukan realitas dalam tulisan-tulisan yang dibuat hanya untuk menyenangkan penguasa kolonial, karena tulisan tersebut bias kepentngan kolonialisme.

Meskipun begitu, referensi-referensi yang bias kolonialisme itu tetap dipakai karena tidak ada referensi alternatif . Masyarakat Kota Padangsidimpuan sendiri kurang begitu perduli terhadap sejarah kotanya, karena sejarah terlanjur dipahamkan sebagai masa lalu, dan orang-orang cenderung untuk melupakan masa lalu dengan cepat.  Kecenderungan untuk melupakan itu pun semakin kuat ketika masyarakat Kota Padangsidimpuan tidak pernah mendorong generasi mudanya untuk menjadi ahli sejarah, tetapi mendesak anak-anak mereka untuk menjadi sarjana yang mudah diterima di dunia pekerjaan. 

Sejarah Kota Padangsidimpuan berikut dinamika masyarakatnya di masa lalu semakin dilupakan. Namun, sekali-sekali, ada orang yang mencoba mengisahkan kembali masa lalu Kota Padangsidimpuan. Kita misalnya menemukan cerita itu dalam penulisan profil Kota Padangsidimpuan yang disusun Pemerintah Daerah Kota Padangsidimpuan untuk keperluan administrasi pemerintahan daerah. Dan, sungguh, cerita dalam profil itu tidak beranjak dari referensi yang sudah diketahui secara umum, yakni kisah-kisah bias kolonial yang diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Salah satu cerita sejarah Kota Padangsidimpuan yang bias kolonial itu menyebutkan, bahwa Kota Padangsidimpuan mulai dibicarakan setelah pasukan Belanda mendarat di pesisir pantai Barat Sumatra, di daerah yang bernama Natal. Pasukan itu datang dengan alasan mengejar sisa pasukan Tuanku Imam Bonjol yang lari ke Utara pasca penangkapan dan pembuangan Tuanku Imam Bonjol. Sisa pasukan itu disebut sebagai penyebab kekacauan, penjahat, kriminal yang harus ditangkap karena ulah mereka menyebabkan dinamika pembangunan di Hindia Belanda tertunda-tunda.

Ini simpulan yang tak sulit diterima. Pasalnya, Pemerintah Hindia Belanda tahu persis, para pejuang padri menyebar di mana-mana dari Sumatra Barat sampai Sumatra Utara, dan penangkapan Tuanku Imam Bonjol tidak akan membuat perjuangan melawan kolonialisme akan berhenti. Bagi Belanda, perlawanan oleh kaum yang berbasis agama Islam sebagaimana yang terjadi dalam perjuangan Pangeran Diponegoro di Pulau Jawa, tidak akan pernah berhenti meskipun pimpinannya sudah ditangkap. 

Makanya, strategi perang melawan Pangerang Diponegoro dipraktikkan kembali menghadapi perlawanan pejuang padri dengan menangkap Tuanku Imam Bonjol, meskipun Tuanku Imam Bonjol hanya satu dari sekian banyak pemimpin perjuangan, yang berkuasa di wilayah Minangkabau. Pemimpin pejuang padri lainnya adalah Tuanku Tambusai dan Tuanku Rao, keduanya memimpi perjuangan kaum padri di wilayah Tapanuli. 

Tuanku Tambusai memimpin perjuangan melawan kolonialisme untuk wilayah Tapanuli bagian Timur, mencakup daerah Rokan hingga pesisir pantai Timur. Sedangkan Tuanku Rao memimpin perjuangan mencakup wilayan Barat hingga pesisir pantai Barat.  Baik Tuanku Tambusai maupun Tuanku Rao sering bertemu di daerah Padang Lawas untuk membicarakan strategi perang melawan Belanda pasca penangkapan Tuanku Imam Bonjol. Keduanya terus melakukan perlawanan, namun perlawanan mereka perlahan-lahan dapat dilemahkan karena tidak mendapat dukungan dari kaum adat.


Pemerintah Hindia Belanda berhasil melemahkan pejuang-pejuang padri dengan memberi tempat kepada kaum adat dalam pemerintahan dengan memperkenalkan sistem pemerintahan kuriahoft untuk wilayah Tapanuli bagian Timur dan pemerintahan luathooft untuk wilayah Tapanuli bagian Barat. Para pemimpin berbasis adat ini akhirnya berhadap-hadapan dengan pejuang padri, dan mereka didukung oleh tentara Hindia Belanda. Lama kelamaan, pejuang padri melemah karena semua masyarakat terpaksa mendukung pemerintahan adat, sebab segala urusan pemerintahan diatur oleh Luathooft dan Kuriahoof setelah Pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan sistem pemerintahan dengan mendirikan pemerintahan afdheling.

Lahirnya sistem pemerintahan afdheling buatan Pemeritah Hindia Belanda sering disebut cikal-bakal Kota Padangsidimpuan, apalagi setelah Kota Padangsidimpuan ditetapkan sebagai Afdheling Padngsidimpuan. Kenyataannya, sebelum Pemerintah Hindia Belanda masuk dan memperluas wilayah jajahannya hingga ke Tapanuli, Kota Padangsidimpuan sudah ada. Kota Padangsidimpuan berada dalam perlindungan pejuang padri yang dipimpin oleh Tuanku Rao bersama muridnya, Tuanku Lelo. Mereka membangun daerah kekuasaannya dengan mendirikan benteng yang dipagari batas alam berupa sungai, Batang Ayumi.  Benteng pejuang padri ini berupa tanggul yang menjadi tempat persembunyian para pendukung padri dari serangan Belanda.

Jauh sebelum Belanda masuk, Kota Padangsidimpuan hanyalah perkampungan kecil yang berfungsi sebagai tempat persinggah para saudagar. Kota ini merupakan sebuah lahan kosong yang konturnya datar (dimpu dalam bahasa Batak menurut Kamus Bahasa Angkola yang disusun Arden Siregar) dan ditumbuhi oleh padang rumput atau dalam bahasa Batak disebut padang. Sebagai tempat persinggahan para saudagar,  daerah ini kemudian diberi nama "padang di dimpuan" yang akhirnya kalimat "padang di dimpuan" berubah menjadi "Padangsidimpuan".   (bersambung)

Budi Hatees menulis buku Sejarah Sutan Pangurabaan Pane, Pendiri Muhammadiyah di Sipirok (2019), Sahala Muda Pakpahan, Revolusi Fisik di Sipirok 1945-1948 (2020), dan puluhan buku sastra. Budi Hatees nama pena dari Budi P. Hutasuhut lahir di Hutasuhut, Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara.  Saat ini sedang menyusun buku sejarah Kota Padangsidimpuan dan sejarah sejumlah tokoh asal Tapanuli bagian Selatan.  


   

alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes