Penulis: Budi Hutasuhut | Editor: Efry Nasaktion
Rencana Dinas Pertanian Kabupaten Tapanuli Selatan menggelontorkan dana sekitar Rp30 miliar pada tahun 2021 untuk membantu petani sawit, atau masing-masing petani akan memperoleh sekitar Rp30 juta, belum terealisasi di Kecamatan Angkola Selatan. Petani sangat mengharapkan bisa ikut program karena mereka ingin mereplanting tanaman sawit akibat produktivitasnya sangat minim.
Tumpukan tandan-tandan buah sawit segar (TBS) terlihat di sepanjang kiri dan kanan jalan dari Simarpinggang sampai Pardomuan di Kecamatan Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan. Buah-buah sawit itu baru dipanen, diletakkan begitu saja oleh buruh-buruh pemanen yang bekerja di kebun-kebun sawit itu milik rakyat. Kebun sawit membentang di kiri dan kanan jalan itu, usianya berkisar 10-15 tahun.
Pemandangan buah sawit segar ditumpuk di pinggir jalan muncul sekali dalam dua pekan, karena para petani memanen sawitnya sebanyak sekali dalam dua pekan, atau dua kali dalam sebulan. Awal Januari 2022, TerasdataCom melintasi jalan itu dan menyaksikan para petani memanen sawit dari pohon-pohon yang tingginya lebih 15 meter menggunakan eggrek atau dodos.
Jalan lintas Simarpinggang-Pardomuan adalah jalan utama yang menghubungkan Kecamatan Angkola Selatan dengan Kota Padangsidimpuan dan kecamatan lain di Kabupaten Tapanuli Selatan. Jalan ini juga merupakan jalur utama distribusi CPO (crude palm oil) milik PT Austindo Nusantara Jaya Agri Siais (ANJAS), anak perusahaan PT Austindo Nusantara Jaya Tbk. (ANJ), yang memiliki pabrik pengeolahan sawit berkapasitas 60 ton/jam di Kampung Paraopan, Kecamatan Pardomuan.
Sawit yang dikelola PT ANJAS di pabriknya tidak hanya hasil dari 9.412 hektare kebun sawit mereka yang ada di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kota Padangsidempuan, tetapi juga hasil pembelian sawit rakyat. Hasil panen sawit rakyat di Kecamatan Angkola Selatan juga ditampung di PT ANJAS melalui pedagang pengumpul yang memiliki kontrak dengan PT ANJAS. PT ANJAS juga memiliki kerja sama pola kemitraan dengan petani plasma di sejumlah dusun di sekitar lokasi perusahaan yang diatur dengan Surat Keputusan Bupati Tapsel.
Keberadaan PT ANJAS di tengah-tengah masyarakat Kecamatan Angkola Selatan membuka mata masyarakat untuk mulai membudidayakan sawit. Sejak 2007, mulai banyak masyarakat yang terlibat pembukaan lahan sawit. Mula-mula mereka bekerja untuk PT ANJAS, tapi kemudian pengalaman bekerja di perusahaan itu membuat mereka membuka lahan sendiri.
Booming sawit
Hamdan hanya seorang petani sawit di Kelurahan Pardomuan, Kecamatan Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan, yang memiliki dua hektare lahan. Tahun 2013, dia menebangi pohon pisang di kebun yang diwarisinya dari almarhum ayahnya, lalu mengubah lahan bekas kebun pisang itu menjadi kebun sawit.
Tahun 2010 sedang booming berkebun sawit. Setiap orang bicara tentang sawit, juga perihal keuntungan besar yang akan diperoleh dari hasil budidaya sawit. Beberapa orang yang dikenal Hamdan juga mulai menanam sawit, membuka lahan-lahan baru yang sebelumnya lahan tidur. Tidak sedikit yang menebangi tanaman lama seperti pisang dan karet, lalu menanam kelapa sawit.
"Bukan hanya pedagang bibit juga bermunculan, mengaku menjual bibit paling bagus, tapi orang-orang dari daerah lain juga datang membeli lahan dan membuka kebun sawit," kata Hamdan.
Tertarik berkebun sawit, Hamdan kemudian mengumpulkan modal yang tak banyak untuk membeli bibit sawit. Tak ada bekal pengetahuan, dan tak ada pihak yang bisa ditanyai. Sebagai petani, dia berusaha mencari tahu cara membudidayakan kelapa sawit. Dia juga mencari bibit yang harganya lebih murah, yang sesuai dengan kondisi keuangannya.
Dua hektare kebun sawit milik Handam ditanam secara bertahap, sekuat modal untuk memmbeli bibit. Saat itu Hamdan tidak tahu bahwa bibit sawit tidak boleh sembarangan, karena mempengaruhi produktivitas hasil panen. Dia baru tahu soal bibit itu belakangan, setelah sawit di kebunnya mulai panen, dan hasilnya selalu minim. "Dari dua hektare, kadang hanya dapat satu ton," kata Hamdan.
Hamdan tidak sendirian yang mengeluhkan minimnya produktivitas hasil panen TBS di kebunnya. Sebagian besar petani sawit di Kecamatan Angkola Selatan mengeluhkan minimnya hasil panen di kebun mereka.
Angkola Selatan adalah salah satu sentra kelapa sawit di Kabupaten Tapanuli Selatan. Nama kecamatan ini sebelumnya Siais, namun dirubah pada tahun 2007. Kecamatan Angkola Selatan memiliki 17 desa: Pardomuan, Sihuik-Khuik, Aek Natas, Gunung Baringin, Dolok Godang, Simarpinggan, Tapian Nauli, Tandihat, Sihopur, Perk. Marpinggan, Siamporik Dolok, Sibongbong, Siamporik Lombang, Napa, Pintu Padang, Sinyior, dan Situmba. Sebagai sentra sawit, kecamatan memiliki kelapa sawit seluas 417,50 Ha dengan produksi 4.312,50 ton di Tahun 2017.
Desa Gunung Baringin, yang merupakan salah satu desa di antara 17 desa yang ada di kecamatan Angkola Selatan, kini mayoritas penduduknya menjadi petani kelapa sawit. Namun, hasil budidaya sawit dari desa ini sangat rendah sehingga petani tak bisa menikmati kenaikan harga TBS yang terjadi selama 2021.
Sejumlah petani sawit di Kecamatan Angkola Selatan berharap pemerintah daerah bersedia membantu mengikutsertakan mereka dalam program Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Program ini merupakan upaya pemerintah untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit rakyat dengan melakukan penggantian tanaman tua atau tidak produktif dengan tanaman baru sesuai dengan prinsip-prinsip GAP (good agricultural practices).
Pembentukan program ini dilatarbelakangi permasalahan produktivitas perkebunan sawit rakyat yang rendah sehingga berdampak pada pendapatan pekebun sawit. Program PSR yang telah dilaksanakan sejak tahun 2016 ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas sawit rakyat dari 3 ton/ha menjadi 7–8 ton/ha serta meningkatkan kesejahteraan pekebun sawit Indonesia."Kebun kami tidak sampai 500 kg dalam sehekatre," kata Marjuki, petani lain.
Para petani mengakui, sebagian besar tanaman sawit milik petani belum tua, tapi bibit sawit yang mereka tanam bukan bibit yang sesuai standar. Selain itu, petani juga jarang melakukan pemupukan akibat tingginya harga pupuk tidak sebanding dengan hasil produksi.
Rendahnya produktivitas hasil panen sawit itu sudah berlangsung sejak bertahun-tahun lalu, dan grafiknya terus menurun tiap tahun. Namun, para petani sawit merasa produktivitas yang rendah itu bukan persoalan, karena mereka belum pernah mendapatkan hasil panen satu ton TBS per hektare atau lebih satu ton per hektare. Setiap kali panen selalu di bawah angka satu ton per hektare, dan hasil produksi yang minim itu pun sudah sangat memuaskan bagi mereka.
"Dengan 500 sampai 700 kg saja sekali panen sudah sangat disyukuri," kata Abdul, petani sawit pemilik dua hektare lahan di Desa Gunungbaringin, Kecamatan Angkola Selatan.
Menunggu program PSR
Produktivitas kelapa sawit masyarakat yang begitu rendah diakui Dinas Pertanian Tapanuli Selatan. Sebab itu, Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan mendaftar ikut program strategis nasional bidang budidaya kelapa sawit Dirjen Perkebunan pada 2021. Rencananya pemerintah menggelontorkan dana sekitar Rp30 miliar pada tahun 2021 untuk membantu petani sawit, atau masing-masing petani akan memperoleh sekitar Rp30 juta.
Kepala Dinas Pertanian Tapanuli Selatan, Bismark Muaratua Siregar, kepada pers pada Maret 2021, membeberkan pihaknya sudah menandatangani kerjasama dengan Kemeneterian Pertanian terkait bantuan Rp30 miliar untuk petani sawit tersebut. Penandatanganan kerja sama dilakukan saat Rapat Koordinasi dengan Kementerian Pertanian di Hotel Park V Cilandak, Jakarta, 8-10 Maret 2021.
Di dalam perjanjian disebut, Kementerian Pertanian memberikan target akan membiayai 1.000 hektare kebun kelapa sawit untuk Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dengan perkiraan anggaran Rp30 juta per hektare atau total Rp30 miliar.
Berdasarkan siaran pers yang diterima dari Biro Komunikasi, Layanan Informasi, dan Persidangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, tentang Program Peremajaan Sawit Rakyat yang bertujuan mendorong penyerapan tenaga kerja dan menciptakan multiplier effect, disebutkan bahwa PSR salah satu Program Strategis Nasional sebagai upaya pemerintah meningkatkan produktivitas tanaman perkebunan kelapa sawit dengan menjaga luasan lahan agar perkebunan kelapa sawit dapat dimanfaatkan secara optimal sekaligus untuk menyelesaikan masalah legalitas lahan yang terjadi.
Pemerintah menargetkan Program PSR dari tahun 2020-2022 dapat terealisasi sebesar 540.000 hekatare yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, diantaranya wilayah Sumatera sebanyak 397.200 hekatare, Jawa 6.000 hekatare, Kalimantan 86.300 hekatare, Sulawesi 44.500 hekatare, dan Papua 600 hekatare.
Sementara target pemerintah dalam Program PSR pada tahun 2021 seluas 180.000 hekatare dan dapat didukung dengan pembiayaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebesar Rp30 juta/hekatare dengan maksimal lahan seluas 4 hekatare per petani.
Dari 397.200 hektare lahan untuk Sumatra, Provinsi Sumatra Utara hanya memperoleh 20.500 ha pada tahun 2021 ini. Sebanyak 1.000 hektare kebun kelapa sawit tersebut ada di Kabupaten Tapanuli Selatan, meskipun luas tanaman dan produksi kelapa sawit tanaman perkebunan rakyat di Tapanuli Selatan diperkirakan 5.337 hektare yang tersebar di 12 kecamatan dan terluas ada di Kecamatan Batang Toru (2 116,50 hektare) dan Muara Batang Toru (1.701 hektare).
Petani butuh pendampingan
Sejumlah petani yang ditemui TerasdataCom mengaku pernah mendengar Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sebagai program nasional membantu pekebun meremajakan kelapa sawitnya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas. Namun, mereka tidak tahu ke mana harus meminta program PSR itu dan bagaimana persyaratannya.
Sementara secara nasional, berdasarkan data Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), pelaksanaan PSR terkendala banyak permasalahan di lapangan seperti legalitas status lahan yang diajukan berada/ bersinggungan dengan kawasan hutan, kawasan HGU dan kesatuan hidrologis gambut yang memerlukan rekomendasi dari aparat berwenang di daerah (Dinas Kehutanan Provsu/Kantor Badan Pertanahan Nasional). Realisasi pelaksanaan fisik di lapangan belum optimal yang masih berada di bawah 50%.
Persoalan rendahnya produksi sawit rakyat disebut sebagai akibat penggunaan benih palsu atau asalan. Kondisi itu terjadi karena kurangnya pengetahuan petani dan mahalnya benih unggul bersertifikat.
Data Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyebutkan, saat ini luas perkebunan rakyat mencapai 4,7 juta hektar, terdiri atas 1 juta ha milik petani plasma dan 3,7 juta ha milik petani swadaya. Dari luas itu, petani memproduksi 11 juta ton CPO atau menyumbang 30% terhadap produksi nasional.
Menurut Wakil Sekjen Apkasindo Rino Afrino, penggunaan bibit tidak unggul (illegitim seeds) oleh petani swadaya itu umumnya dilatarbelakangi ketidak tahuan petani karena tidak adanya pendampingan dari perusahaan.
Bahkan, data terakhir Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, menyebutkan, produktivitas perkebunan sawit rakyat hanya 2 ton CPO per ha per tahun, jauh dibandingkan dengan perkebunan swasta yang berkisar 4-8 ton per ha per tahun.
Rendahnya produktivitas ini akibat petani ingin menanam sawit dengan cepat dan murah, tanpa mempedulikan lagi hasilnya. Padahal, salah memilih bibit, kerugian akan ditanggung untuk waktu yang lama.
"Pokoknya mereka (petani swadaya) cari bibit murah, cari cepat, pokoknya berbuah. Begitu sudah berbuah, baru kelihatan tidak optimum," katanya.
Selain itu, pada saat yang sama, petani tidak mengelola kebun dengan benar, mulai dari perawatan tanaman, pemupukan, hingga pemanenan. Mereka, misalnya, tidak tahu cara membersihkan gawangan atau memotong pelepah dengan benar. Saat panen pun, petani tidak memiliki pengetahuan apakah buah benar-benar telah matang.
Penyebab berikutnya, peremajaan kebun yang terlambat. Seperti diketahui, pemerintah baru meremajakan kebun petani baru-baru ini, itu pun dengan luas hanya sekitar 4.000 ha.
"Ini tidak signifikan dengan kebutuhan kebun sawit kita yang kalau kami lihat lebih dari 1 juta ha umurnya di atas 25 tahun. Bahkan di Riau, saja 68.000 ha di atas 25 tahun. Belum lagi yang tidak produktif karena menggunakan benih yang tidak baik," ungkap Rino.
Di sisi lain, kelembagaan petani belum kuat karena belum menyatu dalam koperasi atau kelompok petani. Akibatnya, akses terhadap perbankan untuk permodalan dan akses terhadap Badan Pertanahan Nasional untuk legalitas lahan menjadi terbatas.
"Kunci penyelesaiannya adalah pendampingan, ada pihak-pihak yang selalu mengawal, ada kemitraan. Kemitraan itu wajib sesuai dengan UU Perkebunan. Perusahaan dan pekebun harus bermitra," kata Rino.*
Posting Komentar