Polri dan Ikan Busuk Mulai Dari Kepala




IKAN busuk dimulai dari kepala. Kalimat itu disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyikapi perilaku personel Polri yang menciderai amanat reformasi Polri. 

Kita bisa menebak, Kapolri sedang "menyalahkan" para pemimpin di jajaran Korps Bhayangkara. Seperti ikan busuk diulai dari kepala, maka jika badan ikan membusuk, berarti kepalanya sudah lebih dahulu busuk. tidak ada jalan lain, maka kepala harus dipotong.

Cuma, jika ikan sudah busuk, memotong kepala pun tidak dapat menyelesaikan masalah.
Tapi, yang jelas, kalimat Kapolri mengingatkan kita George Kirkham. Dia seorang intelektual yang serius dan tekun. Untuk tahu tentang polisi, ia bekerja paruh waktu sebagai polisi sekaligus pengajar bidang kriminologi di kampusnya, Florida State University. 

Dua tahun ia melakoni pekerjaan ganda itu, melaksanakan semua tugas yang menjadi tanggung jawab polisi di Amerika Serikat. Ia terapkan pengalaman yang diperolehnya sebagai polisi dalam meningkatkan kemampuannya sebagai seorang kriminolog yang mengajar di kampus.
 
Selama dua tahun itu pula, simpatinya tumbuh kepada mereka yang berprofesi sebagai polisi. Pandangannya yang biasanya miring terhadap polisi perlahan-lahan berubah menjadi lunak. Perubahan besar itu terjadi karena, selama bertugas sebagai polisi, ia dituntut oleh lingkungan pekerjaan yang keras agar menjelma menjadi sosok yang juga keras. Sikap lembut dan terlalu hati-hati dari seorang polisi justru akan membahayakan diri dan rekan-rekan tugas.

Itulah kesimpulan yang diperoleh profesor emeritus di Florida State University College of Criminology & Criminal Justice ini. Ia mengakui, tugas dan tanggung jawab polisi yang begitu berat dapat mempengaruhi karakteristik seorang aparat polisi. Karena itu, publik mesti memaklumi betapa berat beban tugas dan tanggung jawab seorang polisi di lapangan.
 
Tentu, kesimpulan Kirkham ini akan didukung semua polisi di dunia ini, termasuk anggota Korps Bhayangkara. Kirkham memberi pembelaan yang luar biasa sehingga upayanya mendapat pujian dari banyak kalangan, termasuk dari institusi-institusi polisi di Amerika Serikat yang menjadikannya konsultan di bidang kriminologi. Meskipun sudah umum diketahui, perilaku malpraktek polisi di Amerika Serikat sangatlah parah. 
 
Di negara ini, polisinya dicitrakan sangat buruk seperti digambarkan Lawrence W. Sherman dalam bukunya, Scandal and Reform: Controlling Police Corruption (1878). Korupsi dan polisi Amerika Serikat sudah inheren dan tidak bisa dibicarakan satu per satu seakan-akan tidak berkaitan. Inilah yang diistilahkan Maurice Punch dalam bukunya, Police Corruption: Deviance, Accountability and Reform in Policing (2009), dengan "Soal sebenarnya bukan apel yang busuk. Soalnya adalah kebunnya yang busuk".

Kejahatan atau malpraktek anggota kepolisian dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab tidak selalu disebabkan oleh individu polisi itu. Faktor lingkungan pada lingkup internal institusi juga menjadi pendorong utama. Jika lebih dikaji, malpraktek yang dilakukan polisi sesungguhnya tidak selalu disebabkan oleh watak individu polisi, melainkan besar kemungkinan dipengaruhi oleh lingkungan kerjanya. 

Hal yang sama juga berlaku bagi anggota Polri. Buruknya perilaku malpraktek di kalangan internal Polri, bukan mustahil telah memotivasi anggota kepolisian di level bawah untuk membenarkan perilaku malpraktek itu. Apalagi pembelaan institusi Polri begitu luar biasa terhadap perwira tingginya, dan tidak peduli jika harus bertarung dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. 
 
Bagi anggota Polri di level paling bawah, yang setiap hari bertemu muka dengan masyarakat, tentu saja melakukan malpraktek dengan keuntungan miliaran rupiah adalah mustahil. Bagian mereka adalah recehan, dikutip di jalan raya dengan segala jenis pembenaran aksinya atas nama tugas dan tanggung jawab polisi.
 
Membicarakan Polri sambil meminjam sudut pandang George Kirkham sudah tentu akan membuat kita melihat personel polisi sebagai manusia biasa. Tapi, bukan pada posisi manusia biasa itu yang jadi soal hari ini, melainkan pada tugas dan tanggung jawab yang dibebankan di pundak seorang polisi. Yang jadi soal adalah apa yang disebut Maurice Punch pada kutipan di awal, bahwa soalnya bukan pada buah apelnya melainkan pada kebun apelnya. Artinya, bukan personel polisinya yang menjadi soal. Soal sesungguhnya adalah institusi Polrinya.
 
Pada tataran inilah gagasan Reza Indragiri Amriel dalam tulisannya, "Sekarang Selamatkan Polri" (Koran Tempo edisi 23 Oktober 2012), harus didukung. Secara garis besar, ia menitikberatkan pada persoalan pembenahan sumber daya manusia Polri, terutama soal meningkatkan profesionalisme kerja SDM polisi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Caranya, mengedepankan rekrutmen yang sehat dan membenahi lembaga-lembaga pendidikan yang ada di lingkungan institusi tersebut.

Bila tawaran itu dikerjakan hari ini, sangat pasti masa depan Polri akan cemerlang. Tapi perlu proses regenerasi dalam rentang waktu yang panjang. Padahal kita butuh Polri hari ini, semua anggota Korps Bhayangkara yang mampu bertugas sesuai dengan Kode Etik Profesi dan Sumpah Tribrata Polri. Anggota Polri yang seperti itu, sesungguhnya, sukar kita temukan dalam kehidupan nyata. 

Institusi Polri di negara ini memang harus diselamatkan. Citra institusi ini sama seperti polisi dalam dunia sinematografi. Kalau bukan sebagai entitas yang kurang disenangi, pastilah sebagai ikon keangkuhan. Kalau bukan sebagai lambang pelembagaan korupsi, pastilah sebagai lambang pelembagaan kriminalitas. *

Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes