Dalam Pasungan

Cerpen: Budi Hatees

Beberapa perempuan di Nusantara ini ingin seperti Raden Ajeng Kartini, Cut Nyak Dien, dan perempuan pejuang yang jadi inspirasi nasional. Beberapa lagi mengidentifikasi dirinya sebagai Wonder Women, Supergirl, atau perempuan-perempuan super lainnya yang ada di dalam khayalan Marvel.  Beberapa lainnya ingin seperti perempuan-perempuan kuat yang ada di legislatif atau yang ada di jajaran birokrasi pemerintahan  (tetapi bukan yang sudah dipenjara karena kasus korupsi). Malona, perempuan 20 tahun, anak Soaloon, hanya ingin bebas dari dua buah balok yang  memasung kaki-kakinya sejak setahun lalu. 

Balok-balok itu berdiameter 12 cm x 12 cm, panjang 2 meter, disatukan dengan baut panjang tepat pada pergelangan kedua kaki Malona yang jenjang dan aslinya berkulit putih. Gadis itu tampak sangat sengsara, tubuhnya kurus,  perutnya buncit  (tepatnya membelendung), kelopak mata cekung, rambut hitam yang dulu mengkilat dan memikat hati para pemuda di Huta Ginjang, terlihat seperti benang kusut. Rambut itu sudah lama tak dikeramas, sudah sangat rindu pada sisir. Tiap sebentar tangan Malona menggaruki kepalanya, merasa ribuan kutu telah beranak- pinak di rambutnya, hingga melahirkan beberapa keturunan. Kadang, kutu-kutu itu jatuh dari rambut, menempel di bahu Malona yang kehilangan warna aslinya karena terlalu lama tidak dicuci. 

Malona dipasung di dalam gubuk kecil berukuran 3 m x 2 m yang dibangun di belakang rumah. Tanpa dinding, atapnya dari seng karatan yang telah bocor pada beberapa bagian, dan air merembes dari sana bila hujan turun.  Angin leluasa masuk, siang hari membawa debu, malam hari menyebabkan Malona menggigil kedinginan. 

Tidak ada seorang pun yang mau membebaskan Malona. Tepatnya, tidak ada yang berani melepaskan pasungan itu dari kedua kakinya, dan ketidakberanian mereka disebabkan oleh Soaloon. Dia mengancam akan menghabisi siapa  saja yang berusaha melepaskan pasungan balok kayu di kaki Malona. Dia tidak main-main dengan ancaman itu, dan dia telah membuktikannya beberapa kali. 

Hamidah, istrinya yang dengan sendirinya ibu Malona, pernah bersikeras hendak membebaskan Malona. Akibatnya sangat fatal, pelipis mata kanan Hamidah pecah setelah ditinju Soaloon. Hamidah menolak berobat ke puskesmas karena khawatir orang-orang akan mempergunjingkan lukanya sebagai akibat siksaan dari Soaloon. 

Hamidah masih memikirkan nama baik dan kehormatan suaminya, Soaloon justru sebaliknya. Tak cukup hanya memecahkan pelipis mata kanan Hamidah, Soaloon juga mengusir perempuan yang malang itu dari rumah. Hamidah menolak dengan alasan dia tidak akan mempertanyakan soal pemasungan Malona, tapi Soaloon tidak Soaloon mengancam akan membuat hidup Hamidah lebih menderita jika tidak segera pergi. Hamidah akhirnya menurut, dia kembali ke rumah orang tuanya.

Kepergian Hamidah memperparah kondisi Malona. Tidak ada lagi yang merawat gadis itu, tak ada seorang pun yang berani mendekatinya. Orang-orang takut diperlakukan seperti Hamidah, apalagi mereka bukanlah siapa-siapa. Kepada istrinya saja Soaloon tega, apalagi kepadaorang lain yang hanya tetangga. Akibatnya, kondisi Malona semakin menderita dan dihantam-pukul oleh rasa kesepian yang hebat. 

Hanya Soaloon yang rutin mengunjungi Malona untuk mengantar makanannya. Di luar urusan makanan, Soaloon tidak memperdulikan Malona. Seandainya suatu hari Malona mati di dalam pasungannya, Soaloon tidak akan bersedih karena kematiannya. Sebaliknya dia akan bersyukur karena merasa terbebas dari persoalan yang telah membuat mukanya tercoreng. 

Sementara Hamidah ingin menemui Malona, tetapi dia sangat yakin Soaloon tak akan memberi izin. Dia ingin memelas kepada Soaloon, tetapi dia tidak punya keberanian. Soaloon sangat keras dan pendiriannya sangat kokoh. Jika Soaloon sudah menetap sesuatu sebagai keputusannya, gempa bumi tujuh hari tujuh malam pada 9 SR sekalipun tidak akan mampu mengubah keputusan Soaloon. Seandainya pun bulan pecah di langit dan bumi terbalik, Soaloon tetap kukuh dengan apayang sudah diputuskannya.           

Malona menyesalkan kepergian ibunya, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya selain menyalahkan diri sendiri. Ya, hukuman yang kini diterimanya, tak akan pernah menjadi keputusan Soaloon seandainya dia tidak hamil. Hamil!? Tidak. Dia tidak hamil seperti disangkakan orang-orang meskipun perutnya membelendung. Tapi dia tidak bisa menjelaskan apapun tentang perutnya yang membelendung. Semua terjadi begitu saja, tanpa gejala apapun. Tiba-tiba saja Malona merasakan ada yang tumbuh di dalam perutnya. Makin lama, perutnya makin membesar. Tidak ada gejala rasa sakit yang menyertai proses membelendung itu.

Orang-orang langsung membuat penilaian negatif, mencibir Malona hanya berdasarkan perubahan fisik tubuhnya. Mereka bergunjing tentang Malona sebagai gadis yang membawa aib bagi semua penduduk Huta Ginjang, dan pergunjingan itu akhirnya sampai ke telinga Soaloon. Seperti percik api menyambar bensin, Soaloon emosi dan marah. Dia meledak-ledak memaki-maki Malona, menuduh putrinya telah mencemari nama baiknya sebagai salah seorang tokoh masyarakat di Huta Ginjang.

“Bagaimana Malona bisa hamil,  dia tidak pernah berhubungan istimewa dengan  laki-laki mana pun.” Hamidah sempat mebela Malona ketika Soaloon berencana membuang aib bernama Malona itu dengan cara memasungnya, tapi pembelaan itu hanya membuat susana hati Soaloon menjadi semakin buruk. Pada puncak kemarahannya, Soaloon menyeret Malona ke belakang rumah, mengikat kedua tangan anak gadisnya. Orang-orang mendengar ketika Malona meraung-raung minta dibebaskan. Soaloon bergeming, lalu mencari dua bilah kayu balok, kemudian memasuk kedua kaki Malona. “Inilah hukuman bagi kaki yang tak mampu menjaga kehormatanmu,” kata Soaloon.           

Hamidah jatuh kasihan kepada putri tunggalnya yang bernasib malang, dan dia tidak bisa berbuat apapun untuk membebaskannya. Selain menangis setiap saat, dia menyesali betapa lemahnya dirinya hingga tak punya kemampuan untuk menyelamatkan putrinya. Dia membayangkan derita yang dialami Malona, lalu berniat akan menolongnya, tetapi niat itu segera gugur sebelum dilaksanakan. Dia trauma atas perlakuan kasar Soaloon, dan dia merasa tidak akan sanggup menanggung rasa sakit akibat dipukuli Soaloon. 

Suatu hari dia berniat melaporkan perlakuan kasar Soaloon terhadap dirinya dan Malona, tapi niat itu segera dilupakannya karena khawatir dampaknya justru akan meperparah situasi. Selain membuat Soaloon tertekan, juga akan membuat Malona semakin menderita. Dan, begitulah, segala sesuatu bertempur di dalam diri Hamidah. Batinnya goyah, dan dia semakin tertekan. Tiap saat dia selalu membayangkan melawan Soaloon untuk membebaskan Malona, tapi di saat bersamaan dia meragukan perlawanannya. Akhirnya dia menangis, menetik air matanya, bergulir di pipinya.

Sementara Hamidah terus melamun, Malona semakin terpasung dengan kaki yang tak bisa digerakkan dan perut yang seakan-akan berubah jadi batu. Malona merasakan sesuatu yang tumbuh dalam perutnya terus-menerus bertumbuh, makin lama semakin membesar. Perut itu bagai menindihnya, menekannya. Sementara Soaloon tak menyadari perubahan fisik Malona, karena dia lebih memikirkan rasa malu diri sendiri. Dia sangat kecewa, dan kekecewaannya membuat dia kehilangan muka di hadapan siapapun. Dia jarang berada di Huta Ginjang, tapi dia selalu akan pulang hanya untuk memberi makan kepada Malona. Setelah itu dia pergi lagi, dan akan pulang bila tiba waktu untuk memberi makan kepada Malona. 

Para tetangga tak pernah tahu, juga tak mau tahu, ke mana Soaloon pergi. Para tetangga melihat, Soaloon selalu berjalan ke arah Barat. Ada yang bilang Soaloon ke kebunnya, menyembunyikan diri di sana. Orang-orang bergunjing kalau Soaloon merasa sangat terpukul, kehilangan gairah untuk hidup sekaligus gairah untuk mati. Matanya selalu kosong. Saat berjalan, Soallon terlihat tidak menyadari bahwa dia sedang melangkah.

Suatu hari terdengar kabar, Hamidah ditemukan pingsan di dalam ruamh orang tuanya. Kondisi tubuhnya lemah. Orang-orang membawanya ke puskesmas, tetapi petugas di puskesman merujuknya ke rumah sakit. Saat orang-orang membawa Hamidah ke rumah sakit, seorang pengendara sepeda motor yang berpapasan dengan mobil yang membawa Hamidah ke rumah sakit, mendadak berhenti di pinggir jalan. Dia merasa melihat sesuatu tak jauh dari pinggir jalan, di dalam semak-belukar, dan dia menduga sesuatu itu mirip seperti seseorang sedang terlentang. Dia meminggirkan sepeda motornya, lalu memastikan apa yang ada di dalam semak-belukar itu. Dia kaget begitu mengetahui ada orang terlentang di dalam semak-belukar, dan dia mendekatinya karena menduga telah terjadi sesuatu yang buruk pada orang itu. Ketika dia semakin dekat, barulah dia mengenali orang itu. “Soaloon!” Dia berteriak. “Apa yang terjadi padamu?”

Tubuh Soaloon sudah kaku. Matanya terbuka, menatap lurus ke langit. Soaloon telah meninggal. *



Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes