KPU Tapsel dan Debat Kandidat Pilkada


Oleh Budi Hatees | Peneliti pada Pustaha Institute




















Debat kandidat di negeri kita sekadar bagian dari tahapan Pilkada, dan kontribusinya tidak harus menentukan terhadap hasil akhir dari Pilkada.

Suatu hari di tahun 2004 saya berada di Kabupaten Lampung Selatan, di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat, bertemu dengan salah seorang komisioner KPU. Waktu itu saya bekerja sebagai jurnalis di sebuah institusi pers, dan menjadi aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan organisasi ini independen dalam urusan pemilihan umum baik sebagai organisasi maupun sebagai pribadi. Independensi itulah yang dilihat KPU Lampung Selatan sehingga mengundang beberapa aktivis AJI untuk terlibat dalam Pilkada Lampung Selatan, terutama dalam urusan debat pilkada. Saya diundang KPU Lampung Selatan untuk menjadi pembawa acara dalam Debat Calon Bupati Lampung Selatan yang akan disiarkan live di salah satu stasiun televisi di Provinsi Lampung. Saya menjadi pembawa acara pada debat hari pertama, sedangkan debat pada hari kedua akan dipandu Oyos Saroso HN, seorang jurnalis yang juga pendiri www.teraslampung.com.

Ingatan tentang peristiwa di Kabupaten Lampung Selatan itu hanya pembuka dalam pembicaraan tentang Debat Kandidat Bupati/Wakil Bupati Kabupaten Tapanuli Selatan yang sudah berlangsung, dan debat kandidat sesi kedua akan digelar KPU Tapanuli Selatan pada Senin, 30 November 2020. Debat sesi kedua itu akan menjadi tahapan akhir dari Pilkada Tapanuli Selatan. KPU Tapanuli Selatan berjanji akan menyiarkan secara live di TVRI sekalipun tidak semua lapisan masyarakat bisa mengikutinya, dan video streaming live debat akan disiarkan juga agar bisa diakses publik di Kabupaten Tapanuli Selatan meskipun kualitasnya tidak begitu memuskan.

Bicara tentang debat kandidat Pilkada, saya juga punya ingatan lain tentang Debat Kandidat Bupati/Wakil Bupati Pesawaran pada tahun 2015 lalu. Saat itu, saya berada di belakang salah satu kandidat sebagai orang yang mempersiapkan kandidat untuk menghadapi debat tersebut, dan jauh-jauh hari KPU sudah memanggil LO (law official) kandidat Pilkada dan membicarakan metoda debat sambil membagikan daftar pertanyaan yang akan diajukan agar setiap kandidat mempunyai persiapan (belajar kembali) supaya bisa memberi jawaban yang sesuai visi misi mereka. Setiap kandidat punya perspektif masing-masing mengenai persoalan yang dirumuskan KPU, di mana tim perumus persoalan itu terdiri dari para ahli dari kalangan akademisi. Cuma, tidak semua persoalan yang dirumuskan tim KPU itu representatif dengan realitas kehidupan masyarakat, sering justru sangat umum dan menjauh dari spesifikasi dinamika persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.

Intinya, semua debat yang saya ikuti, nyaris tidak berbeda dengan debat-debat publik yang pernah memposisikan saya sebagai peserta, baik yang live di media massa yang membicarakan tema-teman khusus maupun yang tidak melibatkan media massa. Segala sesuatu telah dikonsep (sudah ada skenarionya), dan setiap peserta debat hanya perlu memberikan “bunga-bunga” yang tidak perlu relevan dengan realitas yang ada. Sebab, debat kandidat di negeri kita sekadar bagian dari tahapan Pilkada, dan kontribusinya tidak harus menentukan terhadap hasil akhir dari Pilkada.

Masyarakat yang mengikuti debat Pilkada, bukanlah masyarakat yang cerdas berpolitik seperti masyarakat Amerika Serikat. Masyarakat kita adalah masyarakat yang memiliki kebebasan sipil tetapi tidak memiliki perilaku demokrasi yang kapabel karena kapasitas lembaga demokrasi yang berfungsi menampung, menyalurkan, dan merespons tuntutan publik tidak memadai. Dalam situasi seperti itu, kebebasan sipil hak-hak politik masyarakat kita lebih banyak diekspresikan dalam bentuk tindak kekerasan, atau bahkan dalam bentuk praktik-praktik politik transaksionis.

Pada akhirnya, Pilkada akan sangat ditentukan oleh praktik-praktik transaksionis. Para kandidat, seserius apapun mereka ikut dalam perjanjian integritas guna menghadirkan Pilkada yang bersih dan tanpa KKN, mereka akan kesulitan memposisikan diri dalam dinamika ”bias demokrasi” saat ini akibat gerakan demokratisasi yang berlangsung lebih dicurahkan pada upaya menghadirkan lembaga demokrasi, baik  pada ranah negara maupun masyarakat. Sementara upaya meningkatkan kapasitas lembaga demokrasi dan  membangun perilaku demokrasi di kalangan para penyelenggara negara, politisi, dan masyarakat madani sendiri cenderung terabaikan.

Di dalam Pilkada, apa yang dilakukan KPU dengan membagikan pertanyaan-pertanyaan dalam debat kandidat sebelum debat berlangsung, lebih menunjukkan betapa debat kandidat ini tidak begitu diharapkan sebagai medium pendidikan politik rakyat. Dengan logika seperti ini, bisa disikapi bahwa pernyataan-pernyataan superlatif dari kandidat Pilkada Tapsel tentang keunggulan pasangan mereka, sama sekali tidak produktif. Pernyataan superlatif yang penuh “bunga” itu tidak menunjukkan kecerdasan pemikiran atas penguasaan persoalan yang sedang terjadi di Kabupaten Tapanuli Selatan.

 Saya mengambil contoh salah satu gagasan yang diumbar pasangan M. Yusuf Siregar-Robby Agusman Harahap terhait “pengakuan terhadap tanah ulayat”. Bahwa, pasangan nomor utur 01, yang diusung partai Nasional Demokrat (Nasdem), ini beraugemn bahwa jika mereka terpilih sebagai Bupati/Wakil Bupati Tapanuli Selatan periode 2021-2025, maka hak rakyat atas tanah ulayat akan mendapat pengakuan dalam bentuk peraturan daerah (Perda).

Pada tataran inilah saya bisa mengatakan, bahwa M. Yusuf Siregar-Robby Agusman Harahap alpa mengikuti realitas demokrasi di negeri ini sejak reformasi bergulir. Jika mengacu pada Hidayat dan Gismar (2010: 5), bahwa reformasi yang berlangsung di Tanah Air sejauh ini  masih didominasi oleh adanya ”tarik-tegang” antara  keinginan melakukan perubahan pada satu sisi dan keinginan untuk tetap mengekalkan ”tradisi” lama pada sisi lain.

Secara ideologis, perubahan niscaya harus dilakukan, tetapi kelompok elite, terutama ”keturunan Orde Baru”, tidak sepenuh hati mendukung gelombang perubahan karena hal ini akan berimplikasi pada perubahan ”tradisi” yang telah mereka bangun dan nikmati selama ini. Dengan memanfaatkan struktur, sistem, dan prosedur yang ada, para elite tersebut melancarkan reformasi tandingan (counter reform) untuk memastikan bahwa gerakan reformasi yang sedang berlangsung tidak mengusik kepentingan-kepentingan yang dimiliki.

Jika M. Yusuf Siregar-Robby Agusman Harahap ngotot akan memperjuangkan hak rakyat atas tanah ulayat, maka pertarungan mereka akan sangat berat menghadapi realitas absennya negara di lingkungan masyarakat. Reformasi yang berlangsung selama ini lebih terfokus pada upaya membangun dan memperbaiki institusi negara (state institutions), sementara upaya membangun dan memperkuat kapasitas negara (state capacity) cenderung tak dapat perhatian seimbang.

Artinya, M. Yusuf Siregar-Robby Agusman Harahap masih harus lebih dahulu mencurahkan segala energi mereka untuk membangun dan menghadirkan ”adab berdemokrasi” (perilaku demokrasi) di kalangan penyelenggara negara, politisi, dan masyarakat, lewat pendidikan politik, pada khususnya, dan pendidikan kebangsaan, pada umumnya, sehingga rencana untuk memberikan hak rakyat atas tanah ulayat tidak lagi mendapat penentangan dari sistem yang ada. Sehingga, Perda hak ulayat yang akan disusun dan dilegalisasi itu, bisa berjalan dengan mudah tanpa resiko dihapuskan oleh pemerintah pusat karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Dengan kata lain, gagasan tentang hak ulayat bukan gagasan baru, tetapi sudah diperjuangkan banyak pihak di negeri ini agar diakomodasi oleh pemerintah pusat dalam sebuah produk undang-undang tang representatif.

Membicarakan tentang hak ulayat, tentu saja tidak bisa asal bicara tanpa fondasi dasar terkait penguatan nilai-nilai budaya tradisional. Dengan kata lain, pemerintah daerah yang ingin memperjuangkan hak ulayat masyarakat, harus juga menghasilkan sejumlah kebijakan yang berkaitan penguatan nilai-nilai tradisional seperti memberlakukan hukum adat yang justru telah disingkirkan pemerintah pusat atas nama kodifikasi hukum negara. Namun, tanpa hukum adat, sumbtansi dari hak atas tanah ulayat itu akan ngawur, sehingga upaya pengembangan budaya tradisi dalam semangat kelokalan juga akan percuma.

Apabila M. Yusuf Siregar-Robby Agusman Harahap ingin memperjuangkan hak rakyat atas tanah ulayat, maka pasangan kandidat Pilkada Tapsel ini harus juga memperjuangkan berlakunya hukum adat di lingkungan masyarakat Tapanuli Selatan. Sebab, hukum adat itulah yang mengatur pembagian hak ulayat masyarakat, sehingga akan semakin jelas masyarakat mana yang memiliki hak ulayat di sebuah daerah dan masyarakat mana yang hak ulayatnya merupakan pemberian dari para raja panusunan bulung yang punya andil dalam membangun perkampungan-perkampuan asal di Kabupaten Tapanuli Selatan.

Saya khawatir, pasangan M. Yusuf Siregar-Robby Agusman Harahap sendiri mengasumsikan hak ulayat di Kabupaten Tapanuli Selatan ini sama seperti hak ulayat masyarakat di daerah lain di Indonesia, sehingga merasa yakin akan mampu memperjuangkan hak ulayat tersebut. Padahal, membicarakan hak ulayah masyarakat di Kabupaten Tapanuli Selatan tanpa berusaha mengupas kembali sejarah lahirnya perkampungan-perkampungan asal di kabupaten ini, hanya akan menimbulkan konflik horizontal dan vertikal yang dapat mengancam stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat.

Sebab itulah makanya saya menyebut debat kandidat yang digelar KPU Tapanuli Selatan bukan sebuah medium yang positif untuk pendidikan politik bagi masyarakat, meskipun setiap kali debat kandidat digelar selalu dihadirkan para ahli untuk memberikan pemikiran-pemikiran yang akademis sebagai alternatif.

Berangkat dari realitas debat kandidat sesi pertama, kita berharap debat kandidat sesi kedua yang akan berlangsung Senin, 30 November 2020, memberi warna yang berbeda, yang tak sekadar menjalankan tahapan sebagaimana menjadi aturan dalam pelaksanaan Pilkada, tetapi membuka wawasan publik tentang pemilihan umum daerah sebagai medium untuk mendapatkan pemimpin yang diharapkan. Kita tak ingin debat kandidat membuat rakyat punya kapasitas untuk menjadi rakyat yang ditandai dengan pemahaman terhadap persoalan yang dialaminya sehingga tahu siapa yang paling tepat untuk menjadi pemimpin agar persoalan tersebut bisa diatasi. 


alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes