Melupakan Si Miskin

Oleh : Budi Hatees | Peneliti pada Institute Pustaha


Oleh Budi Hatees

Pekerjaan dalam bernegara yang paling mudah dilakukan adalah menemukan si miskin. Mereka ada di mana-mana. Kita tidak membutuhkan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk bisa menghitung jumlah si miskin, kita juga tak perlu mendirikan dinas sosial di daerah-daerah untuk bisa mengetahui seberapa hebat penderitaan yang mereka alami.

Si miskin itu memiliki kecenderungan untuk terus bertambah. Tiap tahun, jumlah mereka tidak pernah berkurang. Kalau pun ada si miskin yang menjadi kaya, pastilah jumlahnya tidak sebanding dengan si miskin yang bertambah miskin.  

Di tengah-tengah bencana pandemi virus corona (Covid-19), si miskin  lebih mudah ditemukan. Mereka adalah kelompok masyarakat yang terdampak Covid-19. Tidak perlu mencari-cari dengan rumus kesejahteraan yang dikeluarkan lembaga-lembaga internasional, mereka ada di sekitar kita. 

Bisa saja si miskin ini bernama tetangga  kita, pun bisa saja namanya anggota keluarga kita.  Si miskin saat pandemi Covid-19 ini sebagian besar orang-orang yang kita kenal. 

Mungkin dia pedagang sayur-mayur yang datang setiap pagi ke kompleks perumahan  tetapi tak bisa lagi datang karena ada kebijakan lockdown. Mungkin juga pedagang makanan di warung-warung tenda yang tidak boleh lagi berjualan karena pemerintah menerapkan PSBB (pembatasan skala besar-besaran). Atau, tukang servis di bengkel yang dipecat pemilik bengkel karena tak ada lagi pelanggan yang datang memperbaiki kendaraannya.  

Si miskin adalah warga bangsa yang dianggap penting sekaligus tak penting. Penting, terutama jelang pemilihan umum, seperti Pilkada serentak. Para calon kepala daerah mencari-cari si miskin. Mereka tahu di mana menemukan si miskin dengan mudah. Si miskin ada di desa-desa tertinggal, di perkampungan yang tak punya infrastruktur memadai.

Tapi setelah peristiwa demokrasi, si miskin menjadi aib. Sebagai aib, para kepala daerah akan mengabaikannya. Mereka tahu si miskin tak pernah hilang sepenuhnya. Tapi mereka berpura-pura si miskin sudah hilang, karena si miskin bisa membuat mereka dinilai tak cakap memimpin. Nilai seperti itu adalah minus, bisa menurunkan citra sebagai pemimpin yang bijaksana, sekaligus mengancam kelanggengan kekuasaan hingga periode kedua. Kehilangan kekuasaan itu berbahaya bagi masa depan seorang elite.

Realitas seperti inilah yang sekarang terjadi. Ketika negara memberikan perhatian luar biasa kepada si miskin dengan ragam program subsidi pendidikan dan kesehatan, para kepala daerah mengabaikan si miskin. 

Bantuan langsung tunai (BLT) yang dikeluarkan pemerintah pusat untuk mengatasi masalah ekonomi masyarakat terdampak Covid-19, justru menimbulkan persoalan krusial yang baru. Ada si miskin yang tak dianggap miskin, karena pemerintah menilai kemiskinan dengan cara yang berbeda. 

Disebut berbeda karena data si miskin yang dipakai untuk membagikan BLT adalah data lama, data hasil Sensus Ekonomi 2018 lalu, dan bukan data terbaru yakni kemiskinan yang lahir akibat Covid-19.  Akibatnya, si miskin protes karena merasa dirinya terdampak Covid-19 tetapi tidak kebagian BLT, atau segala bentuk bantuan terdampak Covid-19. 

Mereka pun merasa mendapat perlakuan tak adil. Wajar jika kemudian mereka marah. Kerusuhan pun pecah. Mula-mula pada tingkat lingkungan, tapi bila tak segera diantisiapasi akan meluas dan mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat.

Negara sudah memberikan perhatian khusus kepada si miskin terdampak Covid-19, maka pemerintah daerah harus memiliki perhatian lebih dalam memperlakukan si miskin. Artinya, bila pemerintah pusat meluncurkan program bantuan bagi si miskin, maka pemerintah daerah harus membuat kebijakan yang bisa mendukung terealisasinya tujuan dari program tersebut.

Sayangnya, pemerintah daerah tidak berpikir lebih maju selangkah daripada pemerintah pusat. Sebaliknya, pemerintah daerah cenderung menunggu gerakan pemerintah pusat, lalu melakukan klaim atas program pemerintah pusat yang pro-rakyat sebagai gagasan sendiri. 

Tidak jarang, bantuan pemerintah pusat untuk si miskin disalahgunakan. Misalnya, bantuan untuk program keluarga harapan (PKH), yang dalam banyak kasus justru diberikan kepada orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. 

Dan semua orang tahu, cara seperti itu, memotong dana yang sudah dialokasikan untuk kepentingan publik dalam jumlah tertentu, merupakan perilaku yang bertolak-belakang dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tapi, penegakan hukum terhadap pelanggar peraturan perundang-undangan acap sulit ditegakan. Pasalnya, para penegak hukum ternyata mendapat bagian sekian persen dari dana negara yang dipotong itu. 

Akibatnya, dana yang sudah ditetapkan dengan jumlah tertentu berdasarkan perhitungan yang matang dan rigit, akhirnya tidak cukup untuk merealisasikan program peningkatan kualitas manusia. Si miskin tetap saja miskin, malah punya kecenderungan semakin miskin. 

Akhirnya, simpati kepada si miskin sering muncul sebagai topeng untuk menutupi wajah aslinya yang sangar. Si miskin mengundang kebencian,  melahirkan maki.  Mereka menjadi  kelompok masyarakat yang keberadaannya senantiasa  diabaikan,  tak jarang mendapat perlakuan sebagai warga kelas dua di negeri ini. 

Si miskin dianggap tak ada,  karena keberadaannya menjadi semacam cemar bagi sebuah pemerintahan yang berkuasa. Kemiskinan, entah kenapa, selalu ditolak dan diasumsikan sebagai kelemahan dari pemegang kekuasaan di pemerintahan.

Tak heran bila si miskin sering bagai layang-layang putus. Dibawa-bawa angin ke mana-mana, diterbangkan kemana-mana. Tak menolak, pasrah adanya. Tak jadi soal jika kemudian masuk comberan, atau berkubang dalam kesesatan. 

Caci-maki banyak diletuskan ke jantung nasib si miskin. Mereka pun tertembak,  si miskin jadi tersangka utama dari setiap laku kriminalitas.  Meskipun, dalam banyak kasus, pelaku kriminalitas di negeri ini lebih banyak muncul dari kalangan warga kelas atas.

Si miskin adalah sekelompok orang yang menderita ketika orang lain bahagia; mereka adalah orang yang hidupnya tertekan ketika orang lain hidup bebas; mereka adalah orang yang tak bisa mendapatkan apa-apa justru saat orang lain mendapat sekian banyak previlese.

Si miskin bisa bernama janda-janda tak  mampu,  yatim piatu,  para pencari kerja,  buruh-buruh yang disiksa majikan,  petani,  nelayan, pengemis, dan banyak lagi.  Jumlahnya begitu massif.  Lebih banyak dari jumlah warga dari gabungan warga kelas satu,  para kelas menengah sosial,  para konglomerat,  politisi, atau para pejabat.




Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes