Setiap kali menghadapai peristiwa politik bernama pemilihan umum, termasuk Pilkada serentak 2024 yang saat ini sedang berlangsung, ada satu fenomena yang kerap muncul, yakni kehadiran seseorang atau sekelompok orang yang melakukan operasi mempengaruhi.
Kelompok ini tidak mudah diidentifikasi keberadaannya. Mereka piawai menyamarkan kepentingannya. Tapi, jelas, kelompok ini ada, nyata. Mereka punya kepentingan untuk memenangkan salah seorang kandidat, meskipun mereka berada di semua kandidat.
Di Kota Padangsidimpuan, juga di berbagai kabupaten/kota lainnya, mereka sudah tiba. Jauh-jauh hari, sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan calon kepala daerah, mereka telah menjalankan operasinya. Diawali dengan strategi infiltrasi kepentingan politik dari aktor-aktor politik di daerah. Mereka menetralisasi domain kekuatan yang sudah ada.
Mereka mengawali dengan memperkenalkan diri sebagai pribadi yang cinta daerah kelahirannya. Mereka sengaja pulang karena rasa perduli. Meskipun, sebetulnya, mereka hanya sedang menguji elektabilitas setiap figur elite yang berhasrat ingin mencalonkan diri.
Mereka melakukannya karena paham regulasi, dan mereka mengerti selalu ada kepentingan dari aktor-aktor politik. Aktor-aktor tersebut senantiasa berusaha mengamankan kepentingan politik dengan mensiasati regulasi, mengatur bagaimana penyelenggara pemilu melaksanakan fungsinya. Mereka berteman juga dengan penyelanggara, diikat oleh hubungan yang berbasis pada nilai-nilai tradisional.
Kelompok ini paham, demokrasi di Indonesia tidak berkualitas. Mereka telah mengidentifikasi, masyarakat yang akan memilih bukanlah orang yang mengerti tentang tujuan demokrasi. Bagi mereka, masyarakat hanyalah sekelompok orang yang belum selesai dengan urusan primordialnya atau urusan domestik.
Urusan domestik menyangkut sejengkal perut. Jika perkara perut selesai, mereka akan tenang. Cuma, perut tidak selamanya kenyang. Perut harus selalu dikenyangkan. Untuk kenyang, perlu kualitas ekonomi yang baik. Agar ekonomi berkualitas, perlu penghasilan tetap. Supaya punya penghasilan tetap, harus bekerja keras.
Itulah problem sosial mereka dalam kehidupan. Mereka bekerja sangat keras, tapi tak mampu meningkatkan kualitas ekonominya. Sementara di dalam peristiwa politik, mereka hanya perlu mencoblos di kotak suara. Dalam waktu singkat, tanpa perlu kerja keras, mereka mendapatkan keuntungan.
Masyarakat seperti ini tidak akan menghabiskan waktu mengurusi perkara politik dan demokrasi. Mereka tidak mau tahu apakah demokrasi yang dilaksanakan itu berkualitas atau tidak. Ketertarikan mereka terhadap Pilkada serentak 2024, hanya ikut-ikutan supaya keberadaan mereka diketahui. Orientasi mereka hanya satu: dianggap ada oleh para kandidat. Dengan begitu, mereka bisa mendapatkan sesuatu yang bermanfaat.
Mereka tidak punya konsep yang jelas tentang politik. Mereka pun tidak mengerti soal isme dalam sikap hidup. Pengetahuan mereka tentang politik begitu medioker. Pengetahuan itu berasal dari sumber-sumber yang tak paradigmatis. Dengan pengetahuan yang medioker, mereka berani berdebat. Bukan supaya segala sesuatu kembali ke rel idealisme, tapi supaya keberadaan mereka ditandai.
Ketika masyarakat ini memberikan pilihan di kotak suara, mereka tidak memikirkan apa dampak memilih itu. Mereka memilih karena sosok yang dipilih memberikan sesuatu. Mereka sangat respek terhadap siapa pun yang memberi.
Inilah karakter wargabangsa kita. Sejak dahulu, di kepala rakyat ditanamkan sebuah konsep nilai untuk selalu membalas perbuatan baik orang lain. Kepada wargabangsa kita tidak pernah ditanamkan bahwa perbuatan baik itu sesuatu yang subyektif di dalam politik. Masyarakat punya konsep sendiri tentang "berbuat baik" sekalipun konsepnya buruk.
Masyarakat yang merasa paham politik dan demokrasi merupakan massa mengambang (swing voter). Jika ada surveyor dalam peristiwa survei politik, mereka menjadi kelompok yang menconteng jawaban "tidak tahu", "belum menentukan pilihan", atau "masih menunggu". Mereka tidak pernah memikirkan akan memilih siapa menjadi pemimpinnya. Mereka tidak perduli siapa pun yang jadi pemimpin.
Mereka baru memikirkan siapa yang akan dipilih jika mendapatkan sesuatu dari seseorang yang akan dipilih. Seandainya ada kandidat yang citranya sangat buruk, mereka tetap akan memilihnya. Seandainya seorang koruptor punya hak untuk jadi kandidat kepala daerah, mereka akan tetap memilihnya bila mendapat bayaran. Mereka tidak perduli apabila kandidat itu kembali korupsi jika berkuasa. Bagi masyarakat, perkara besok atau lusa, bukan sesuatu yang harus dipikirkan hari ini.
Kepada mereka, rakyat yang tidak mau perduli kepada apa yang akan terjadi esok atau lusa, operasi pemengaruhan akan digelar. Di Kota Padangsidimpuan, juga di kabupaten/kota lain yang serentak menggelar pilkada, selalu ada orang yang melakukan operasi pemengaruhan ini. Mereka tidak terlihat, tapi ada. Punya gagasan luar biasa, yang seakan-akan mendukung publik.
Mereka bicara seolah-olah membutuhkan pemimpin yang hebat. Publik akan mengira kelompok ini sebagai orang yang punya tanggung jawab luar biasa atas hadirnya demokrasi yang berkualitas. Mereka biasanya bicara tentang moral demokrasi.
Kita tahu, tujuan kampanye politik adalah memperebutkan sebanyak mungkin suara untuk kemenangan kandidat yang didukung. Untuk itulah, kelompok yang melakukan operasi pemengaruhan bergerak dinamis untuk meraih tujuan tersebut.
Di dunia politik, mereka didefinisikan sebagai upaya terfokus memahami dan mengikutsertakan audiens sebagai targetnya untuk menciptakan, memperkuat, atau melanggengkan 'kondisi' yang menguntungkan pihak atau kandidat tertentu. Metode kerja mereka lewat pengimplementasian program, pesan, dan produk yang dilakukan secara terkoordinasi.
Mereka mengkondisikan interaksi-interaksi dengan tujuan mempengaruhi audiens untuk mengubah opini dan/atau perilaku mereka. Dengan begitu, metode mereka bisa diketahui, bahwa mereka mempengaruhi aspek psikologis, dan mereka tidak akan segan-segan melukai moral, mempengaruhi kesadaran publik, melemahkan kontrol dan kemampuan audiens dalam memahami norma dan cara hidup bermoral.
David Tayouri dalam “The Secret War of Cyber Influence Operations and How to Identify Them” pada Cyber, Intelligence, and Security, Vol 4 No 1, March (2020) , mengatakan operasi pemengaruhan mencakup tiga domain: fisik, digital (media sosial), dan kognitif. Jika selama ini orang berkampanye politik untuk mencapai efek instan, tujuan utama operasi pemengaruhan meraih pengaruh lebih besar pada domain kognitif.
Domain kognitif ini sangat penting. Operasi pemengaruhan memicu proses pembelajaran, 'mempengaruhi' pilihan politik masyarakat. Metode mereka dirancang mengubah norma dan preferensi target para pemilih di dalam pemilihan umum. Medium yang dipakai, sebagian besar, adalah media sosial. Yang paling dominan, mereka membuat grup-grup chat di aplikasi Wahat App.
Jauh-jauh hari, mereka sudah membangun dan merancang grup. Mereka mengundang semua orang yang dianggap punya kemampuan sebagai pemengaruh. Bukan persoalan apakah orang itu pendukung kandidat tertentu atau sama sekali tidak berpihak pada kandidat mana pun. Mereka memfasilitrasi siapa pun untuk bicara tentang kandidat. Semua boleh berkomentar. Semakin panas situasi, mereka semakin suka.
Operasi pemengaruhan merupakan strategi kampanye yang didasari oleh logika sederhana: elektoral. Aktor relevan melihat taktik ini sebagai mesin pemengaruh paling andal yang mampu memanipulasi opini publik dalam waktu singkat dan sebagai upaya untuk mempengaruhi hasil pemilu. Kondisi-kondisi yang ada seperti kerangka dan prosedur pembentukan regulasi juga penerapannya menjadi elemen yang menentukan bisa atau tidaknya taktik ini berjalan.
COMMENTS