Penulis: Budi Hatees | Penulis seorang peneliti di Institute Pustaha
Kesibukan terbesar para birokrat di pemerintahan daerah adalah “menulis” naskah teater bernama Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap tahun. Naskah itulah yang harus dibaca dan dihafal oleh para birokrat pengelola OPD (organisasi pemerintahan daerah) setelah lebih dahulu setiap OPD “memecah” naskah itu dan hanya mengambil apa yang menjadi lakonnya, yang kemudian disebut RKA (Rencana Kerja dan Anggaran) OPD.
Jadi, mengurus pemerintah daerah tidak seribet yang kau bayangkan. Aku pernah membantu beberapa Kepala Daerah di negeri ini, mulai dari menyusun garis-garis besar pemerintahan daerah yang dituangkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), lalu Rencana Kerja Pemerintah Daerah, kemudian Kebijakan Umum APBD dan PPAS (KUA-PPAS), sampai pada perkara mengkristalisasikannya ke dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Organisasi Pemerintahan Daerah (OPD).
Semua itu disebut tahapan penyusunan APBD, satu dan lain tahap itu harus sinkron, dan kait berkait dengan agenda nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) maupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Tapi, memang, segala sesuatunya jadi ribet karena narasi dari setiap tahapan itu harus selalu mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama bila bicara tentang pengelolaan uang atau biaya.
Sekaitan dengan pengelolaan uang atau biaya, para birokrat selalu ekstra hati-hati dengan pertimbangan-pertimbangan yang mengesankan bahwa mereka menderita paranoia terhadap apa yang akan dilakukan legislatif, terutama yudikatif dan para penegak hokum. Yang disebut terakhir ini, para penegak hokum, lebih sering diposisikan sebagai “hantu”, selalu membayang-bayangi para birokrat seperti mimpi buruk dan membuat hidup mereka selalu tertekan. Entitas ini bekerja mengandalkan undang-undang anti-korupsi, mencari kesalahan pada hasil hitung-hitungan anggaran, dan mengambil keuntungan dari salah satu pasal yang membenarkan “uang korupsi harus dikembalikan ke kas Negara”.
Para birokrat yang melakukan kekeliruan dalam menggunakan kalkulator sehingga ada kekurangan dalam perhitungan APBD, buru-buru akan menutupi kekurangan perhitungan itu dengan merogoh kocek sendiri agar tidak dituduh melakukan korupsi. Kalau tidak, mereka bisa jadi tersangka. Tapi, keberuntungan seperti itu tidak selalu terjadi, karena para birokrat gampang sekali ditetapkan sebagai tersangka. Meskipun sudah mengembalikan kerugian Negara, bukan berarti mereka sudah terbebas dari segala tuduhan penggelapan dan penyalahgunaan uang Negara.
*
SOAL hafal-menghafal naskah drama yang bernama APBD, tidak jarang para birokrat melakukan penafsiran-penafsiran ulang atas teks-teks yang ada. Teks-teks yang membicarakan tentang program-program kerja OPD, yang dengan sendirinya menjadi program-program kerja pemerintah daerah atau Kepala Daerah, ditafsirkan secara keliru demi mengumpulkan sepeser demi sepeser keuntungan dari hitung-hitungan cuan. Kesalahan penafsiran itu sering terjadi karena orientasi bukan agar program-program kerja berjalan sebagaimana seharusnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, tetapi sebagaimana seharusnya agar dapat persentase keuntungan.
Persentase keuntungan itu tidak banyak, tapi jika dikalikan jumlah program kerja di tiap OPD, totalnya akan banyak. Misalnya, apabila satu OPD memiliki 500 program kerja setiap tahun yang dibiayai dengan APBD (juga tertulis dalam dokumen-dokumen administrasi pengelolaan APBD), mendapat keuntungan satu persen saja sudah bisa mengumpulkan banyak cuan. Apalagi di OPD yang identic dengan program kerja infrastruktur, pembangunan fisik yang harus bersinergi dengan stakeholder dari unsur eksternal, pertarungan para stakeholder agar menjadi mitra strategis OPD akan berdampak pada OPD itu sendiri. Setelah stakeholder saling menjatuhkan dengan strategi yang acap melanggar regulasi yang dibuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), pemenang akan menjadi anak emas dari OPD dan bahkan Kepala Daerah. Itu sebabnya, tidak sedikit rekanan di lingkungan pemerintah daerah yang mendominasi proyek-proyek infrastruktur, sementara perusahaan-perusahaan kontruksi lainnya tidak pernah kebagian.
Hal seperti ini tidak seharusnya terjadi, karena pemerintah daerah mesti menerapkan azas “keadilan social bagi seluruh rakyatr Indonesia”. Cuma, ketidakadilan jauh lebih menguntungkan, karena stakeholder yang merupakan pengusaha konstruksi enak dijadikan kawan karena ada yang mau membagi-bagikan modal usaha jauh-jauh hari sebelum proyek infrastruktur dirumuskan pemerintah daerah. Soal seperti ini sudah galib, biasa karena kebiasaan. Penyebabnya, kait berkait dengan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada), di mana para pelaku usaha konstruksi akan dengan senang hati menjadi donator dari calon Kepala Daerah yang dianggap punya peluang besar untuk menang. Tak ada catatan hitam di atas putih, pengusaha konstruksi mampu menggelontorkan dana besar untuk biaya politik calon Kepala Daerah dengan perjanjian “tersirat dan tak tersurat” bahwa dana itu akan dibayar dalam bentuk proyek-proyek infrastruktur.
Dengan kata lain, naskah drama yang bernama APBD itu tidak perlu terlalu dihafal karena bukan itu lakon yang akan dimainkan selama setahun. Naskah itu hanya sebuah teks yang bisa dibaca public dalam bentuk Peraturan Daerah tentang APBD, sehingga public menjadi paham bahwa pemerintah daerah sangat memikirkan rakyatnya. Sementara realitas yang ada, ada naskah lain yang dijalankan, dan itulah scenario sesungguhnya meskipun hanya beberapa orang yang bisa memahaminya. Para pimpinan OPD sering tidak bisa membaca scenario “yang tersirat tapi tak tersurat” itu, tapi sok tahu dan merasa mengerti, sehingga acap dinilai terlalu maju oleh Kepala Daerah. Kepala OPD yang terlalu maju, membuat kebijakan di luar kebijakan yang dibuat Kepala Daerah sehingga merugikan para pemodal dalam Pilkada, sering diganti dengan cepat tanpa alas an yang jelas. Beberapa Kepala OPD menolak diganti, lalu melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, tetapi hasilnya tidak pernah memuaskan.
*
ITU sebabnya, lima sampai tiga bulan sebelum akhir tahun, atau biasa disebut memasuki Semester II Pembangunan Daerah, saat itulah pemerintah di daerah dianggap ada. Semua jajaran birokrasi, mulai dari pegawai honorer yang seluruh waktunya dihabiskan mem-fotokopy sampai Kepala OPD yang lebih suka minta dibuatkan kopi, terlihat sibuk. Mereka nyaris tak punya waktu bermain game online memakai wifi gratis di kantor, tak pula kita dengar orang berteriak: “Hoi, bagi chip kau!”.
Kalau kau memasuki kantor mereka pada saat itu, semua orang terlihat sibuk, bekerja fulltime, sering lembur sampai dinihari. Pokoknya, wiiih... Kantor itu macam kantor pemerintah daerah yang sesungguhnya dengan sumber daya manusia (SDM) aparatur sipil negara (ASN) yang terlihat profesional, tahu persis apa yang harus dikerjakannya. Kau akan terkagum-kagum, mengira birokrasi sudah berkembang sangat pesat. Atau, mungkin, kau mengira telah salah masuk kantor. Tapi, sungguh, kau sudah terkecoh.
Lima sampai tiga bulan sebelum akhir tahun, seluruh ASN mengerahkan energinya untuk membuat scenario baru bernama APBD. APBD adalah pernyataan resmi pemerintah daerah, dokumen tentang membangun daerah. Ini dokumen penting dalam melaksanakan pembangunan daerah; berisi program-program kerja pemerintah daerah. Dokumen ini harus kait-berkait dengan dokumen-dokumen lain. Jika tidak, pemerintah pusat akan mencoretnya seperti guru mencoret pe-er murid yang salah mengerjakan soal.
APBD berisi apa yang harus dilakukan dan apa hasil yang akan diperoleh pemerintah daerah. Hasil itu mesti sejalan dengan visi dan misi pemerintah pusat dalam membangun secara nasional. APBD juga berisi bagaimana membiayai semua kegiatan dan bagaimana agar kegiatan itu memberi hasil positif terhadap pertambahan pendapatan asli daerah.
Kalau kau lihat bundel APBD itu, pasti akan pening melihat ketebalannya. Kalau kau baca, sejak halaman pertama, kau bisa mual: njilimet, terlalu banyak pengantar hanya untuk menyampaikan sedikit hal, mutar-mutar seperti tukang ojek tak hapal peta. Para birokrat memang punya tradisi bertele-tele. Tak seperti sastrawan, punya tradisi berindah-indah.
Lima sampai tiga bulan sebelum akhir tahun, itulah saat ketika birokrasi bekerja. Benar-benar bekerja. ASN menjadi sangat serius. Kening berkirut. Jarang ngomong, atau, mungkin, tak sempat ngomong. Tak ada canda tawa. Tak bisa diganggu, juga tidak mau mengganggu. Biasanya pula, saat seperti ini, pelayanan publik sering kurang maksimal (lebih tidak maksimal dibanding sebelumnya yang memang sulit maksimal).
Lima sampai tiga bulan sebelum akhir tahun, kau jangan minta dilayani. Bukan saja tak dilayani, bisa-bisa kau akan naik darah.
Lima sampai tiga bulan sebelum akhir tahun, terhitung sejak Oktober, birokrasi pemerintah daerah akan sering menggelar rapat di tingkat OPD. Semua pejabat di lingkungan OPD akan sering berkumpul, terutama kepala seksi, kepala bidang, dan kepala OPD. Mereka membicarakan rencana kerja (renja) OPD untuk tahun yang akan datang. Selama proses itu, pegawai honorer harus tahan berjaga 24 jam. Siapa tahu ada berkas yang harus difotokopy lagi.
Setiap seksi dan bagian dimintai pemikiran tentang apa yang akan dilakukan tahun depan atas nama OPD bersangkutan. Pemikiran itu dituangkan dalam kertas kerja masing-masing. Ada juga yang dikaitkan dengan informasi tambahan yang diperoleh dari hasil musyawarah rencana pembangunan (musrembang) baik di tingkat desa maupun di tingkat kecamatan. Semua dibahas satu per satu, rinci dan rigid. Juga, dikaji lagi perihal hasil yang diperoleh dari kerja tahun anggaran sebelumnya.
Hasil pembahasan di tingkat OPD, kemudian disampaikan ke Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Semua terjadwal. Tidak boleh terlambat, karena keterlambatan tak baik untuk keselarasan kerja birokrasi. Tapi, birokrasi terbiasa terlambat. Sepekan dua pekan terlambat tetap dimaklumkan. Resikonya tetap ada, dan Bappeda yang menanggung resiko itu.
Semua renja OPD dikumpulkan di Bappeda. Jika pengiriman renja OPD terlambat, kerja Bappeda juga terlambat. Bappeda kemudian membahas item demi item dari setiap renja OPD. Semua pembahasan dilakukan dengan metodelogi, tentu, ilmiah. Ada data yang diacu, biasanya milik Biro Pusat Statistik (BPS). Lalu prediksi dibuat, dan target ditetapkan. Kemudian anggaran dibahas. Taksasi dilakukan. Angka pun diperoleh. Muncul pertanya: dari mana sumber pembiayaan pembangunan?
Kepala Bappeda bertindak sebagai anggota Tim APBD (TAPBD), yang biasanya diketuai oleh sekretaris daerah (Sekda). TAPBD pun rapat, mengkaji kebutuhan dana dan ketersediaan dana di kas. Sumber-sumber pendanaan dicari. Semua lubang yang mengandung sumber dana, sekecil apapun, ditelusuri. Yang penting bisa sampai ke kantong pemerintahan pusat di lembaga maupun kementerian. Sekali-sekali website penyedia dana talangan seperti lembaga pembiayaan akan dijenguk, lalu menyusun proposal yang intinya untuk mencari sumber pembiayaan pembangunan. Ada kalanya obligasi daerah jadi pilihan. Ada kalanya “negosiasi” dilakukan di bawah tangan dengan pembagian persentase keuntungan. Tahu sama tahu lah.
*
Final, tidak. Masih belum jelas. TAPBD masih harus rapat bersama OPD untuk membicarakan renja OPD; apakah semua program disetujui atau tidak. Setiap OPD mesti punya alasan yang berterima. Setelah itu, TAPBD merangkum hasil rapat, membuat notulensi untuk dirapatkan lagi dalam lingkunp terbatas bersama kepala daerah. Di sini keputusan dibuat.
Kepala daerah penentunya. Ada kalanya kepala daerah sudah punya keputusan, sehingga renja OPD harus disesuaikan dengan keputusan kepala daerah. Ada kalanya kepala daerah butuh waktu untuk bermenung dengan tim khusus. Di sini, sering, yang berlaku kepentingan kepala daerah dan barisan pendukungnya, entah di legislatif, entah di keluarga, entah.... OPD hanya ikut, nrimo jatah anggaran dari kepala daerah. OPD hanya manut, taklit pada kehendak pimpinan.
Kepala daerah harus berhitung taktis. APBD itu pernyataan resmi pemerintah daerah tentang strategi membangun daerah, tapi pernyataan itu baru bisa direalisasikan jika mendapat legislasi dari DPRD. Kepala daerah sangat mengerti, berhubungan dengan legislatif mesti bermain politik. Di dalam politik tidak ada teman abadi, yang ada kepentingan abadi. Para anggota legislatif yang berasal satu partai yang sama dengan partai pendukung kepala daerah pun belum tentu jadi teman. Mereka, sering, jadi batu sandungan yang membuat program-program penting terpaksa dicoret.
Jauh-jauh hari, harus ada antisipasi. Para kepala OPD mesti menjalin komunikasi yang intens dengan komisi-komisi terkait di DPRD. Mereka mesti bernegosiasi, meminta semacam pengertian atas tiap program yang akan dirumuskan OPD bersangkutan. Program-program itu mesti didukung komisi agar diperjuangkan dalam rapat badan anggaran. Hasilnya rapat badan anggaran sangat menentukan apakah APBD akan dilegislasi atau dilegislasi sebagian saja.
Dalam tahap ini, negosiasi selalu menjadikan kepentingan publik sebagai bantalan. Segala sesuatu selalu dikaitkan untuk mensejahterakan rakyat. Meskipun, kenyataannya, tak semua seperti itu. Kesejahteraan rakyat diurus belakangan, tapi dibicarakan di awal. Tapi rakyat jangan terlalu berharap!
Lima sampai tiga bulan sebelum akhir tahun, pemerintah daerah hanya memikirkan bagaimana agar APBD itu disahkan, dan bukan memikirkan apakah APBD itu akan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Soal sejahtera dan mensejahterakan bisa diurai dalam wacana APBD, dibuat semirip mungkin dengan penelitian ilmiah sambil mengutif peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sekali-sekali ucapan para ahli dikutif utuh, juga sumbernya dibuat terang dan jelas. Narasi sangat populis bisa disampaikan kepala daerah dalam laporan akhir tahun di hadapan siang DPRD.
Setelah dilegislasi DPRD, peraturan daerah tentang APBD menjadi sah. Buku APBD pun diterbitkan. Isinya narasi panjang yang bertele-tele, tapi inti sebetulnya tentang total anggaran dan rinciannya per program disusun dalam buku lain yang disebut RKPD (rencana pembangunan pemerintah daerah). Buku RKPD beredar di kalangan terbatas, tidak seperti buku APBD yang bisa dibaca oleh siapa saja.
Buku APBD disebut dokumen publik, tapi buku RKPD dilabeli dokumen rahasia negara. Label itu dibuat agar buku RKPS tidak beredar, meskipun isinya berkaitan dengan informasi publik. Meskipun begitu, buku RKPD itu tetap beredar luas, juga sering diperjualbelikan. Mereka yang punya kepentingan, terutama para kontraktor dan kelompok yang ingin ikut menikmati program-program kerja pemerintah daerah, bersedia membeli buku RKPD itu dengan harga mahal. Mereka yang memiliki buku RKPD akan jadi pemain anggaran dalam setahun.
Kelak bila ada persoalan anggaran, salah seorang dari semua yang terlibat menyusun APBD, akan menjadi tersangka kasus korupsi. Baik mereka yang membuat buku APBD dan buku RKPD maupun yang membaca buku-buku itu. Semua akan terkena operasi tangkap tangan (OTT), baik oleh Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK) maupun oleh Polri atas nama saber pungli, ada atau tidak pengaduan, karena semua APBD berjejaring di ruang internet.
Lima sampai tiga bulan sebelum akhir tahun, biasanya, akan banyak elite di pemerintah daerah yang terkena OTT. Ketika itu terjadi, kau akan menyimpulkan, kerja serius selama lima sampai tiga tahun sebelum akhir tahun, ternyata hanya agar bisa ditangkap KPK. Jadi, begitulah, pemerintah daerah hanya akan serius dalam waktu beberapa bulan saja. Dan kau bisa menebak, mereka serius untuk menyusun naskah drama bernama APBD, lengkap dengan aktornya.
COMMENTS