Program Meracuni Generasi Muda

Penulis: Budi Hutasuhut | Editor: Efry Nasaktion


Program Makan Bergizi Gratis (MBG) berubah menjadi program meracuni generasi muda. Lebih 5.000 kasus keracunan terjadi, tetapi pemerintah hanya sibuk mencari siapa yang harus disalahkan.

Para menteri Presiden Subianto Prabowo yang terlibat dalam urusan melancarkan program Makan Bergizi Gratis (MBG),  akhir-akhir ini sibuk mencari siapa yang paling pantas untuk disalahkan setelah terjadi lebih 5.000 kasus keracunan. Bisa ditebak, semua telunjuk ditudingkan kepada Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), mitra pelaksana program MBG yang berasal dari luar pemerintah.

Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, secara terang menuding  Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) bermasalah. “Sejumlah SPPG menyediakan MBG yang bermasalah akan ditutup sementara,” kata Zulkifli Hasan.

Segagasan dengan Zulkifli Hasan, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, menyebut SPPG sebagai dapur penyelenggara program MBG belum memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS). Namun, sebagai menteri yang mengurus perihal kesehatan, ia mengaku belum mendapat data lengkap berapa banyak dapur MBG yang belum memiliki SLHS.

Padahal, produk-produk yang dipergunakan dalam program MBG merupakan produk yang sudah mendapat sertifikat dari Badan Pengendalian Obat dan Makanan. Misalnya, susu yang dipergunakan dalam program MBG, harus sesuai dengan Petunjuk Teknis Standar, Penyediaan dan Distribusi Susu Pada Program MBG.

Tudingan serupa juga disampaikan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, bahwa SPPG wajib memiliki SLHS. Selain itu, Tito menilai Unit Kesehatan Sekolah (UKS) belum berperan untuk pengawasan program MBG.

Prototife SPPG dibuat berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Kepala Badan Gizi Nasional, Mendagri, dan Menteri PU. Prototipe SPPG ditetapkan melalui Kepmen PU Nomor 628 Tahun 2025 sebagai pedoman nasional di Kantor Badan Gizi Nasional, Jakarta, pada Kamis, 18 September 2025.

SPPG berperan penting dalam pemenuhan gizi generasi penerus bangsa, melalui proses produksi program MBG.  Keterpilihan SPPG sangat tergantung pada Badan Gizi Nasional. BGN yang menentukan siapa yang ditetapkan sebagai SPPG untuk terlibat dalam program MBG.

Jika SPPG yang ditetapkan ternyata belum mengantongi SLHS, tetapi sudah bisa memiliki dapur MBG untuk memproduksi makan program MBG, bukan SPPG yang harus disalahkan. Yang perlu disalahkan adalah semua pihak yang terlibat dalam program pavorit Presiden Prabowo Subianto ini. Para menteri terkait, juga Badan Gizi Nasional sebagai lembaga non-kementrian yang merupakan inisiatif strategis pemerintah untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan gizi seluruh masyarakat.

Prototife SPPG. Surat Keputusan Bersama (SKB) Kepala Badan Gizi Nasional, Mendagri, dan Menteri PU menetapkan prototipe SPPG berdasarkan Kepmen PU Nomor 628 Tahun 2025 sebagai pedoman nasional di Kantor Badan Gizi Nasional, Jakarta, pada Kamis, 18 September 2025.
BGN yang didirikan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 ini lebih banyak mengurusi persoalan sistem manajemen, koordinator teknis pelaksanan, dan hal-hal teknis lain untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan gizi masyarakat.  BGN tidak mengurusi masalah nutrisi, protein, vitamin, atau hal-hal yang lebih subtansial berkaitan dengan pemunuhan gizi masyarakat.

Salah satu urusan teknis yang menjadi tanggung jawab BGN adalah memilih mitra yang akan menjadi penyedia dapur BMG, yang kemudian disebut sebagai SPPG.  Sebab itu, menyalahkan SPPG sebagai penyebab kasus keracunan program MBG membuktikan bahwa BGN tidak mampu memilih SPPG yang tepat. SPPG belum mengantongi SLHS,  tetapi sudah bisa memiliki dapur MBG untuk memproduksi makan program MBG. 

Padahal, proyek yang dianggarkan dalam APBN inimenyedot dana hingga Rp335 triliun, dengan pagu resmi Rp268 triliun. Dari pagu awal Rp217 triliun, BGN mendapat tambahan Rp 50 triliun, sementara Rp67 triliun dialokasikan sebagai dana cadangan. 

Porsi terbesar, Rp223 triliun atau 83,4%, masuk ke sektor pendidikan, sisanya ke sektor kesehatan Rp24,7 triliun dan sektor ekonomi Rp19,7 triliun.

Sebanyak 97,7% anggaran digunakan untuk belanja barang, terutama pengadaan makanan instan. Belanja pegawai hanya 1,4% dan belanja modal 0,9%. 

Dominasi belanja barang menunjukkan fokus program lebih pada pemberian makanan siap saji ketimbang pembangunan kapasitas tenaga gizi, guru, atau infrastruktur pendukung. Akibatnya, efisiensi anggaran publik terganggu dan manfaat jangka panjang program diragukan. 

Dari Rp268 triliun, Rp34 triliun diarahkan untuk anak sekolah, Rp3,1 triliun untuk ibu hamil dan balita, Rp3,8 triliun untuk belanja pegawai, dan Rp3,1 triliun untuk digitalisasi sistem pengawasan. 

Dana sebesar Rp700 miliar hanya digunakan untuk pemantauan, sementara pelatihan tenaga gizi mendapat Rp3,8 triliun. Dengan skema seperti ini, pembangunan kapasitas guru dan tenaga gizi terpinggirkan, sehingga manfaat MBG dalam meningkatkan literasi gizi dan pendidikan anak menjadi sangat terbatas.


Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes