.

Kopi Arabika Sipirok Mulai Ditinggalkan Petani












Jurnalis: Budi Hutasuhut | Editor: Hady K Harahap

Ratusan hekatare ladang kopi Ateng (arabika) di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, ditelantarkan pemiliknya. Komoditas tanaman keras yang telah mengantongi Indikasi Geografis (IG) dari Kemenkum HAM  itu, tidak lagi ekonomis. Para petani mengaku, tenaga dan biaya yang terkuras untuk mengolah kebun tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh.

Ladang-ladang kopi arabika di sepanjang jalan menuju Desa Sialaman, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, sudah  lama tidak ada lagi. Kebun kopi yang sempat membuat Desa Sialaman menjadi sentra produksi kopi Arabika, itu telah ditebangi pemiliknya. Lahan bekas kebun kopi, ada yang ditanami tanaman pokat, dan ada yang beralih fungsi menjadi kompleks perumahan. 

Tahun 2015 sampai 2018,  nyaris tak ada lahan kosong di kawasan tersebut. Semua lahan diubah menjadi kebun kopi. Ratusan hektare jumlahnya, membentang hingga ke perbatasan kawasan Cagar Alam Dolok Sibualbuali. Tiap kali musim kopi berbunga, aroma harum bunga kopi akan merebak di kawasan itu.

Pemilik ladang-ladang kopi di Desa Sialaman bukan warga setempat, melainkan warga dari luar kota. Tidak sedikit juga para aparatur sipil negara (ASN) di Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan, menjadi pemilik kebun karena tertarik keuntungan budidaya kopi arabika. 

Orang dari luar kota dan para ASN sengaja membeli kebun kopi dari masyarakat setempat, mengubah lahan yang dibeli menjadi kebun kopi, dan mempekerjakan masyarakat setempat sebagai penjaganya.


"Saat musim panen kopi, daerah ini akan sangat ramai. Pemilik kebun biasanya mempekerjakan 5--20 orang untuk memetik hasil panen," kata Yusuf Pohan, warga sekitar yang mengaku sering bekerja sebagai pemeting kopi. 

Yusuf Pohan  menceritakan, kopi arabika dari Desa Sialaman menjadi tolok ukur kualitas kopi terbaik di Kecamatan Sipirok. Selain kualitas hasil panennya bagus, produktivitas buah kopi per tanaman juga tinggi.  Tiap akhir pekan, rutin truk fuso masuk ke Desa Sialaman untuk memuat kopi yang dikumpulkan pedagang, kemudian kopi-kopi itu akan langsung dibawa ke pengusaha penampung di Medan. 

Tidak sedikit petani yang mendapat hasil dari budidaya kopi, karena harganya jualnya selalu baik. Bahkan, harga jual kopi arabika di Desa Sialaman jadi indikator harga di daerah-daerah lain. Para petani di daerah lain, sebelum memutuskan menjual kopi hasil panennya ke pedagang penampung,  akan bertanya lebih dahulu bagaimana perkembangan harga kopi di Desa Sialaman.

"Banyak petani dari berbagai daerah di Kabupaten Tapanuli Selatan yang datang untuk belajar budidaya kopi ateng sekaligus membeli bibit kopi ateng. Orang-orang yang datang untuk belajar itu, rata-rata ingin mengembangkan kopi arabika di daerah masing-masing," kata Yusuf.

Popularitas kopi arabika dari Desa Sialaman mampu menciptakan berbagai jenis usaha baru. Booming kopi arabika mampu melahirkan usaha di hulu sampai hilir, mulai dari usaha jual bibit kopi sampai usaha pengolahan pasca panen kopi. Berbagai teknologi baru pun diciptakan, mulai dari peralatan non-mesin untuk mengupas kulit buah kopi, sampai teknologi pengupasan kulit ari kopi.  Barang-barang teknologi pengolan hasil panen kopi ini memberi keuntungan besar bagi para pedagang.  


Petani kopi arabika di Desa Sitaratoit, Kecamatan Angkola Barat, Kabupaten Tapanuli Selatan, termasuk para petani yang datang ke Desa Sialaman untuk belajar budidaya kopi arabika sekaligus membeli bibit kopi. Hasan Siregar, salah seorang petani di Desa Sitaratoit, mengaku membabat ladang kopi robusta miliknya hanya agar bisa ikut membudidayakan kopi arabika. 

"Panen pertama, hasilnya bagus. Kualitas biji kopinya besar dan bernas. Cuma, harga jual kopi ini tidak sebagus harga jual kopi arabika dari Sipirok. Ketika diolah menjadi kopi bubuk, cita rasanya pun tidak sebaik kopi dari Sipirok," kata Hasan Siregar.

Hasan Siregar bercerita, dia pernah ingin memproduksi greend bean dan roasting kopi arabika dari Desa Sitaratoit, tetapi tidak banyak peminatnya. Akibatnya, usaha kopi arabika yang akan dikembangkan menjadi lesu karena keuntungan yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan. 

"Kami kembali ke kopi robusta," kata Marjuki, petani di Desa Sitaratoit, yang sejak awal memang membudidayakan kopi robusta. "Daerah kami lebih cocok dengan kopi robusta dibandingkan kopi arabika."

Ditelantarkan

Selain ditebangi oleh pemiliknya, ratusan hekatare kebun kopi arabika di Desa Sialaman juga ditelantarkan pemiliknya. Kebun-kebun kopi yang sebelumnya dirawat dengan sistem semi-moderen, dua tahun terakhir dibiarkan pemiliknya. Pohon-pohon kopi arabika tumbuh di antara belukar semak. 

Kondisi serupa juga terjadi pada kebun kopi arabika milik masyarakat di Desa Gunungbaringin, Desa Padang Bujur, Desa Kilang Papan, Desa Parandolok Mardomu, Desa Pagaranjulu. Ladang kopi milik masyarakat berada di lereng Gunung Sibualbuali, berbatasan langsung dengan Cagar Alam Dolok Sibualbuali, itu sudah tidak dirawat oleh pemiliknya. 

Sebagian besar dari kebun-kebun kopi itu telah ditawarkan pemiliknya kepada siapa saja yang bersedia membelinya dengan harga realatif murah. Di aplikasi penjualan media sosial, banyak pemilik kebun kopi di Kecamatan Sipirok yang mengiklankan penjualan ladang kopinya. Dengan harga berkisar Rp5 juta sampai Rp15 juta per hektare, ladang-ladang kopi itu tampak sudah lama dibiarkan.

Beberapa petani di Desa Padang Bujur, yang memiliki ladang di kaki Gunung Sibualbuali, mengaku mereka terpaksa meninggalkan ladsang kopi arabika karena hasil produksinya tidak bisa menutupi biayan operasional. "Kopi arabika menuntut perlakuan yang lebih serius, tiap hari harus dikunjungi," kata Burhan, petani kopi yang mengelola kurang lebih satu hektare ladang kopi di kaki Gunung Sibualbuali.  

Di  atas ladang kopinya, Burhan mengaku telah menanam sekitar 800 batang bibit kopi arabika sejak tiga tahun lalu. Memasuki tahun ke empat, kebun kopi itu semakin jarang dikunjunginya. Selain jaraknya yang jauh, hasil dari budidaya kopi arabika tak mampu mencukupi. 

Sejumlah kebun kopi di kaki Gunung Sibualbuali tampak tak terurus. Bahkan, jalan onderlag dari kompleks SMA Plus Sipirok menuju lokasi ladang-ladang kopi di kaki Gunung Sibualbuali sudah menyempit akibat jarang dilalui orang. Jalan selebar enam meter yang biasanya bersih dan terurus karena acap doilewati para petani kopi untuk ke ladang, kini menjadi jalan setapak yang dirimbuni belukar semak.

Kebun kopi juga nyaris tidak ditemukan di Desa Pahae Aek Sagala, yang rata-rata petaninya memiliki lahan di sekitar Desa Rambasihasur. Kebun kopi yang sebelumnya banyak dijumpai sepanjang jalan dari Desa Pahae Aek Sagala menuju Desa Rambasihasur, kini telah berubah menjadi semak belukar. Beberapa areal kebun kopi telah diganti masyarakat menjadi lahan budidaya hortikultura. 

Produksi Rendah

Berdasarkan data Biro Pusat Statitik (BPS) kabupaten tapanuli Selatan, pada tahun 2021 luas budidaya kopi arabika di Kabupaten Tapanuli Selatan sebanyak 4.804 hektare yang terkonsentrasi di Kecamatan Sipirok, Kecamatan Arse, Kecamatan Saipar Dolok Hole, Kecamatan Biru, Kecamatan Marancar, dan kecamatan Angkola Timur. Dengan luas lahan seperti itu, produksi kopi arabika  pada tahun 2021 hanya 2.514 ton. 

Dari 2.514 ton produksi kopi arabika itu, sekitar 60% di antaranya dijual para petani kepada pedagang pengumpul yang menjadi agen pembeli dari perusahan pengekspor kopi. Oleh para pengusaha pengekspor kopi, kopoi yang dibeli dari petani di Kabupaten Tapanuli Selatan kemudian dicampiur dengan varietas lain untuk diekspor ke luar negeri.

Nama kopi arabika asal Sipirok kemudian hilang, diganti dengan nama kopi carietas Sigarar Utang yang lebih dikenal di pasar internasional. Kondisi menyebabkan, sertifikat IG kopi yang melekat pada kopi arabika asal Tapanuli Selatan belum bisa menjamin kopi bisa meningkatkan kesejahteraan petani. 

"Kami saja kesulitan mendapatkan kopi," kata Iwan Siregar, owner Binabulu Cafe. "Yang kami butuhkan, kopi arabika dengan kualitas sesuai standar."

Iwan Siregar menilai, tidak semua produksi kopi petani di Kecamatan Sipirok sesuai dengan standar mutu untuk bisa jadi bahan baku minuman kopi yang berkualitas. Akibatnya, Bonabulu Cafe harus menyiasati sumber bahan baku dengan cara mengawal produksi biji kopi sejak dari musim bunga sampai pascapanen. 

"Petani kopi kita belum mampu menghasilkan biji kopi dengan standar bagus," katanya.

Bukan Bonabulu Cafe saja yang berpikir dua kali untuk membeli kopi yang dihasilkan petani kopi di Kecamatan Sipirok. Sejumlah owner cafe yang ditemui Sinar Tabagsel, baik di Kecamatan Sipirok maupun di Kota Padang Sidimpuan,   mengaku harga beli kopi arabika Sipirok cenderung tinggi akibat minimnya produksi. Akibatnya, ketika minum kopi arabika Sipirok ditawarkan ke pelanggan, maka harganya akan lebih tinggi. 

"Hanya orang-orang khusus yang mencari kopi arabiuka Sipirok," kata salah seorang pelayan di Cafe Mandailing. "Kopi di cafe kami dari Madina."



Tidak ada komentar

Beranda