![]() |
Istilah hoaks telah menemukan pamornya dalam satu dekade terakhir. Fenomena ini seiring dengan meningkatnya penggunaan sosial media yang didukung oleh koneksi internet yang juga kian meluas.
Untuk mendapatkan informasi terkini, masyarakat tidak
perlu lagi repot-repot menyalakan televisi atau membaca koran di kedai kopi.
Hanya dengan sentuhan jari saja, sekarang segala berita terbaru dari segala
penjuru bisa kita dapatkan dengan mudah. Sayangnya, kemudahan akses informasi aktual
tersebut ternyata kerap tidak sejalan dengan fakta yang sebenarnya.
Kementrian
komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat ada 9.546 hoaks yang telah
tersebar di berbagai platform media sosial di internet. Data itu terangkum
dalam kurun waktu tiga tahun, mulai dari Agustus 2018 hingga awal 2022. Hal
tersebut dibeberkan oleh Direktur Pemberdayaan Informatika Kementrian Kominfo
Bonafius Wahyu Pudjianto dalam acara Hari Pers Nasional, 7 Februari 2022.
Selain itu, Kominfo juga mencatat bahwa ada sekitar 800.000 situs di Indonesia
yang telah terindikasi sebagai penyebar informasi palsu.
Dampak
yang diciptakan oleh oknum-oknum penyebar hoaks ini tidaklah main-main. Lihatlah
betapa kehadiran konten-konten negatif ini lah berhasil menimbulkan keresahan dan
kecurigaan ditengah masyarakat. Kita jadi semakin terpecah dan terpolarisasi
satu dengan yang lain. Persatuan dan kerukunan antar elemen masyarakat pun kian
terancam olehnya.
Ada
beragam motif yang menjadi pemicu penyebaran berita hoaks ini, dan yang paling utama
adalah dorongan politik. Hoaks kerap digulirkan untuk membunuh karakter serta
peran suatu individu atau kelompok dalam masyarakat di suatu negeri. Cara kotor
ini terbukti masih efektif hingga kini untuk memobilisasi massa, kemudian menggiring
mereka menuju opini yang diinginkan oleh oknum-oknum penyebar hoaks tersebut.
Puluhan
tahun lalu, jauh sebelum era internet menguasai arus informasi, sebuah hoaks
pernah disebarluaskan dan berhasil membakar amarah masyarakat. Tepatnya sepanjang
1965-1966 ketika peristiwa G30S/PKI menjadi isu terpanas di Indonesia.
Waktu
itu, muncul sebuah kabar yang menyebutkan bahwa seorang anggota Gerakan Wanita
Indonesia (GERWANI) yang bernama Jamilah telah menyilet-nyilet kemaluan para
jenderal dalam sebuah perhelatan yang bernama Pesta Harum Bunga. Sejumlah media
cetak terkemuka turut mengabarkan berita tersebut selang dua bulan setelah
peristiwa 1 Oktober berlangsung.
Warga
yang membaca kabar itu sontak tersulut emosinya. Di banyak tempat, terutama di
Jawa, mereka membunuh siapa pun yang diduga punya hubungan Partai Komunis
Indonesia, partai yang dituduh berada di balik insiden keji tersebut. Tak ada
seorang pun yang dapat memastikan sejauh mana kebenaran berita mengenai pemotongan
alat kelamin tersebut.
Presiden Sukarno juga telah berupaya untuk meredam
kemarahan warga dengan mengatakan bahwa kabar pemotongan kelamin para jendral
itu adalah berita bohong. Namun, upaya Presiden
Sukarno sama sekali tak berpengaruh. Para warga terlanjur dibakar emosinya
hingga mengorbankan rasa kemanusiaannya, dan menyisakakan luka di seantero
negeri hingga kini.
Sebelum
Indonesia ini berdiri menjadi sebuah negera dan masih bernama Nusantara, berita
bohong atau hoaks juga pernah digulirkan oleh masyarakat, dan korbannya adalah
para pedagang asing yang datang dari Cina, Arab, India, dan Eropa. Ketika para pedagang
asing ini berlabuh di kawasan pesisir pantai Barat atau pesisir pantai Timur
Pulau Sumatra untuk menjalin hubungan perdagangan, mereka tidak diperbolehkan
untuk memasuki kawasan pedalaman oleh masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir
meyakinkan para pedagang asing ini bahwa di daerah pedalaman, ada kelompok
masyarakat yang dikenal menganut paganism dan tidak menyukai kehadiran orang
asing di tengah-tengah mereka.
Propaganda
yang terus dilancarkan oleh masyarakat pesisir ini pun terbukti ampuh untuk
membuat para pedagang ini ketakutan dan mengurungkan niatnya untuk berinteraksi
dengan masyarakat pedalaman. Akhirnya, transaksi jual beli komoditas perdagangan
yang terdiri dari emas, kamper, gading gajah, cula badak, kayu cendana, kulit
manis, dan hasil-hasil bumi lainnya terjadi di antara masyarakat pesisir dan para
pedagang asing tersebut.
Pernyataan
Daniel Perret dikutip dalam buku Budi Hutasuhut, Historiografi Padang
Sidimpuan, menyebut sejak abd ke-2 M, lewat tulisan Ptolemaus dan selama satu millenium,
Sumatera bagian Utara – sebuah wilayah yang kaya dengan kamper—dianggap sebagai
daerah berbahaya karena diduga dihuni oleh sejumlah komunitas masyarakat
kanibal. Opini ini akhirnya berhasil membuat kawasan pedalaman Pulau Sumatra
bagian Utara menjadi terisolasi dari para pedagang asing. Padahal, seluruh
komoditas yang amat diminati dunia internasional itu diperoleh para pedagang
asing dari masyarakat pesisir tersebut sebenarnya berasal dari masyarakat
pedalaman Pulau Sumatra.
Pastinya
masih banyak lagi hoaks-hoaks lainnya yang sampai sekarang terus menyelinap ke
dalam derasnya arus informasi yang beredar di era digital ini, dan entah sampai
kapan berita-berita palsu ini akan terus merajalela. Solusi utama agar
penyebaran hoaks ini dapat menemui ajalnya adalah dengan menguatkan tradisi
literasi di dalam masyarakat Indonesia. Sayangnya, tradisi tersebut masih belum
menunjukkan gejala-gejala yang menggembirakan.
Posting Komentar