Soekarno
berdiri di balkon Pasar Pajak Batu, di pusat Kota Padang Sidempuan. Dia
mengenakan safari warna coklat susu, lengkap dengan peci hitam. Dia tersenyum
sambil melambaikan tangan ke arah massa yang berkumpul di bawahnya, lalu teriak
: "merdeka".
Di
bawah Soekarno, terminal bus Kota Padang Sidempuan, tampak sesak menampung
ribuan orang. Petugas polisi terlihat berjaga-jaga di sejumlah titik. Massa
yang berdiri meneriakkan yel-yel "merdeka", dan mengelu-elukan sosok
orang yang telah memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus
1945.
Hari
itu, 12 Juni 1948, tercatat dalam sejarah nasional. Dalam buku Kronik Revolusi Indonesia Jilid 4 yang ditulis Pramoedya Ananta Toer, disebutkan Soekarno sampai di Kota
Padang Sidempuan sebagai rangkaian lawatannya ke Pulau Sumatra. Sejak Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merdeka pada 17 Agustus 1945, itulah pertama
kali Soekarno pergi keluar Pulau Jawa.
Dia
dan rombongan bertolak dari Jakarta pada akhir Mei 1948 dan singgah di Belawan.
Dari sana, dia memulai lawatannya di Pulau Sumatra, lalu tiba di Kota Padang
Sidempuan. Para pejabat pemerintah, kontroliur di Afdheling Mandhaeling and
Ankola, dan sejumlah tokoh masyarakat serta tokoh adat Kota Padang Sidempuan
berkumpul.
Saat
itu, panggung politik nasional diisi oleh para elite yang berasal dari Kota
Padang Sidempuan. Sebut saja Amir Syarifuddin Harahap, bekas Perdana Menteri
yang sedang menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan, dan sepupunya,
Burhanuddin Harahap. Keduanya berasal dari Kota Padang Sidempuan, lahir dari
lingkungan keluarga pejabat kejaksaan, dan besar di Kota Medan.
Selain
kedua marga Harahap itu, ada kakak-adik Sanusi Pane dan Armijn Pane. Keduanya
anak dari Sutan Pangurabaan Pane, seorang mantan guru di HIS Padang Sidempuan
yang menekuni karier sebagai jurnalis, yang berjasa atas terciptanya sejarah
Sumpah Pemuda. Tentu saja Soekarno juga akrab dengan tokoh asal Padang
Sidempuan lainnya seperti Parada Harahap, pendiri Kantor Berita Antara, bersama
Adam Malik -- kelak menjadi Wakil Presiden Soeharto.
![]() |
Pasar Pajak Batu dan terminal bus di depannya |
Nama-nama
para tokoh nasional ini, sedikit banyak telah membuat Soekarno ingin tahu lebih
banyak tentang Kota Padang Sidempuan. Belum lagi nama Jenderal Abdul Haris
Nasution, yang kelak dikenal sebagai penggagas Dwi Fungsi ABRI, dan salah satu
korban yang lolos dari pembunuhan dalam sejarah G 30 S PKI. Jenderal A.H. Nasution
punya andil besar dalam merebut kemerdekaan RI dari tangan Belanda.
Waktu
itu, Kota Padang Sidempuan merupakan ibu kota Afdheling Mandhaeling en Ankola,
bagian dari Keresidenan Tapanuli yang beribukotakan Kota Sibolga. Sebagai pusat
pemerintahan, Kota Padang Sidempuan merupakan kota yang riuh, yang berkembang
pesat di masa kolonialisme Belanda sebagai kota bisnis dan jasa.
Di
kota ini, semua pusat bisnis dikembangkan. Ada sejumlah pasar yang dibangun,
bioskop, kafe-kafe berdiri, tempat hiburan malam, dan hotel-hotel dibangun
untuk kalangan abtenar perkebunan yang bekerja di Padang Sidempuan dan
Batangtoru. Fasilitas sosial juga dibangun seperti rumah sakit, lembaga
pendidikan formal, tempat kursus, dan sarana transportasi.
Pasar
Pajak Batu salah satu pusat keramaian di Kota Padang Sidempuan. Pasar ini
awalnya dibangun dekat Aek Bayangayumi, tapi beberapa kali mengalami peristiwa
kebakaran dan akhirnya dipindahkan pada tahun 1920 ke lokasi saat ini di daerah
Kampung Teleng. Di tempat ini, Pasar Pajak Batu diintegrasikan dengan terminal
bus antarkota dalam kota, dan untuk menjaga keamanan dibangun Pos Polisi.
Bangunan
Pasar Pajak Batu berupa gedung dengan arsitektur berbentuk ruang aula, berdiri
di atas lahan seluas seluas 40397,75 m2, termasuk kawasan terminal. Bagian
dalam gedung dibagi dua bagian. Bagian pertama diperuntukkan bagi pedagang
pakaian, berupa kios-kios kecil ukuran 4 x 5 m. Bagian kedua, diperuntukkan
bagi pedagang kebutuhan hidup sehari-hari yang berbentuk los: pedagang daging,
ikan, sayur-mayur, dan sembako.
Di
bagian depan gedung, ada bangunan dengan arsitektur dua buah gedung kembar dan
diperuntukkan bagi Pos Polisi.Di depan Pos Polisi itu, membentang lapangan
parkir untuk bus-bus yang masuk ke terminal.
Datang dari Berbagai Kota
Pada
1 Juni 1948, Kota Padang Sidempuan sudah sesak oleh ribuan orang. Mereka datang
dari Padang Bolak, Sibuhuan, Panyabungan, Sipirok, Labuhan Batu, Pasir
Penguraian, dan kota-kota lain, berkumpul di pusat kota, memenuhi jalan raya
yang kini tempat berdirinya Alaman Bolak.
Orang-orang
datang berjalan kaki, menempuh jarak ratusan kilometer, sengaja berkumpul
karena mendapat kabar bahwa Soekarno akan datang ke Kota Padang Sidempuan. Kabar
ini cepat menyebar, membuat masyarakat yang sejak lama sudah sering
mendengarkan pidato Soekarno lewat radio, berduyun-duyun datang ke Kota Padang
Sidempuan.
Jenderal
TNI Abdul Haris Nasution merekam kehadiran Soekarno di Padang Sidempuan dalam
bukunya, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Periode Renville. Dia menulis,
Soekarno datang untuk menggembleng dan mengobarkan semangat persatupaduan
rakyat di Kota Nopan, Padang Sidempuan, Sibolga, Tarutung, Balige dalam perjalanannya
ke Kutaraja.
Dalam
pidatonya, Soekarno mengobarkan pentingnya seluruh warga bangsa memiliki
semangat persatuan dan kesatuan untuk mengisi kemerdekaan Republik Indonesia.
Dari balkon Pasar Pajak Batu itu, Soekarno berkali-kali meneriakkan
"merdeka", lalu menjelaskan betapa pentingnya kemerdekaan itu diraih.
Usai
berpidato, Soekarno mendapat penghormatan dari rakyat Kota Padang Sidempuan
dalam sebuah acara adat. Dia diberi ulos, diselempangkan ke pundaknya, dan
manortor. Dia juga mendapat seekor kerbau sebagai bentuk penghormatan terhadap
pahlawan. Kerbau kemudian disembelih dan dagingnya dinikmati bersama-sama.
Rombongan
Soekarno kemudian bertolak ke Kota Sibolga. Pramoedya Annta Toer dalam bukunya,
Kronik Revolusi Indonesia Jilid IV,
mengisahkan bagaimana masyarakat Batak sangat menghormati Soekarno.
Saksi Sejarah
Pasar
Pajak Batu menjadi saksi sejarah bahwa Presiden Soekarno pernah tiba di Kota
Padang Sidempuan. Dia diterima masyarakat sebagai founding father, dihormati
dan dielu-elukan. Pasar yang dibangun di masa kolonialisme Belanda ini, berdiri pada tahun 1890.
Kota
Padang Sidempuan adalah kota bisnis. Berbagai fasilitas sosial pun tumbuh di
Kota Padang Sidempuan. Lalu lintas barang utamanya kopi menuju gudang kopi di
Padang Sidempun semakin intensif memicu munculnya dua pasar: Pasar Siteleng dan
Pasar Siborang.
Pemerintah
kota lalu membuat pasar semi permanen di Pasar Siteleng yang lokasinya dan
cikal bakal Pajak Batu. Kehadiran Pasar Siteleng ini juga menyebabkan derasnya
arus masuk penduduk dari pedesaan. Proses urbanisasi pun mulai berlangsung. Di
sekitar pasar, bermunculan rumah-rumah penduduk.
Pada
tahun 1860-an jalan poros dikembangkan ke arah Sipirok dengan membuka jalan
tembus Sitamiang, Tanggal ke Batunadua. Pada saat pembangungan jalan ini juga dibangun
irigasi untuk mengairi lahan sekitar Sitamiang dan sekitar Losung menjadi areal
persawahan baru.
Sejak
itu Kota Padang Sidempuan semakin ramai. Geliat kehidupan kota semakin
meningkat, dan semua terjadi karena didukung keberadaan Pasar Pajak Batu.
Tidak dirawat dan dijaga
Tahun
2017, Pemda Kota Padang Sidempuan mengeluarkan
peraturan daerah tentang cagar alam dan menempatkan Pasar Pajak Batu sebagai
salah satu objek cagar alam di Kota Padang Sidempuan. Keputusan ini pernah
ditindaklanjuti pemerintah daerah melalui Dinas Perindag, Pasar, Koperasi, dan
UMKM Kota Padang Sidempuan dengan program restorasi Pasar Pajak Batu menjadi pasar
moderen. Tapi, program yang konon mendapat kucuran dana Rp1,4 miliar itu tidak
berjalan.
Objek
cagar budaya Kota Padang Sidempuan ini akhirnya terbengkalai, dan cenderung
tidak terawat dengan baik. Namun, pada 2018 lalu, tiba-tiba objek Cagar Budaya
Pasar Pajak Batu berubah menjadi kafe yang dikelola secara komersial. Entah
mendapat izin dari siapa, kafe yang dimiliki salah seorang pebisnis asal Kota
Padang Sidempuan ini dibiarkan saja oleh pemerintah daerah, seakan-akan objek
cagar budaya boleh dimanfaatkan oleh siapa saja.
Penulis:
Dian MS Siregar
Editor:
Budi Hutasuhut
COMMENTS