Baru saja petani kopi di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, bisa menikmati hasil budidaya kopi Arabika, tiba-tiba harga anjlok jadi Rp19.000 per solup dari sebelumnya mencapai Rp30.000 per solup.
"Tiap pekan, harga jatuh Rp2.000 per solup. Kondisi ini harus diantisipasi agar petani tetap bersemangat berusaha," kata Angga, petani kopi di Sipirok saat dihubungi Sinar Tabasel, Senin, 4 Mei 2020.
Dia mengatakan, anjloknya harga kopi arabika terjadi bersamaan dengan menyebarnya pandemi Covid-19, sehingga pendapatan petani kopi turun hingga 100% dibandingkan sebelumnya.
"Saya khawatir situasi ini membuat petani kopi arabika kecewa karena selama ini pemerintah selalu mengkampanyekan pentingnya budidaya kopi arabika," katanya.
Dia berharap, pemerntah daerah segera mengantisipasi minimal menjaga stabilitas harga hasil panen. "Bagaimana caranya, pemerintah daerah mestinya lebih paham. Misalnya, pemerintah daerah bisa mendorong asosiasi eksportir kopi tetap membeli kopi dari petani," katanya.
Syarif, petani kopi warga Desa Pahae Aek Sagal, Kecamatan Sipirok, senada dengan Angga. Sejak harga hasil panen anjlok, dia mulai enggan merawat tanaman budidayanya. Sebanyak 1.500 batang kopi arabika usia dua tahun yang dikelolanya selama ini, semakin jarang diperhatikan.
"Hasil panen tak bisa dibagi untuk beli pupuk. Untuk kebutuhan sehari-hari saja tidak cukup, " katanya.
Sudah satu pekan Syarif enggan ke kebun kopinya, karena tidak ada yang bisa dilakukan. "Untuk bayar upah buruh saja tak ada uang," kata Syarif yang biasanya mengupah buruh untuk menyiangi gulma maupun untuk panen.
Basri Siregar, pengusaha bubuk kopi "Surya Top", menyayangkan anjloknya harga kopi arabika di tingkat petani di Sipirok. Dia menilai, anjloknya harga kopi arabika akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah, karena berdapak pada rendahnya konsumsi masyarakat.
"Masyarakat Sipirok berbelanja sekali sepekan setiap hari Kamis mempergunakan hasil budidaya kopi, tapi sekarang mereka tidak bisa lagi mengandalkannya," katanya. "Ekonomi masyarakat betul-betul ambruk, karena sumber pendapatannya berkurang."
Sebagai pengusaha bubuk kopi, Basri mengatakan hanya harga kopi arabika yang anjlok, sementra kopi varietas lain stabil. "Saya mengelola lima ton kopi robusta dalam sebulan untuk produksi bubuk kopi, harg tetap stabil. Cuma, daya beli masyarakat menurun selama April 2020," katanya.
Sumber Ekonomi Keluarga
Sebagian besar masyarakat di Kecamatan Sipirok merupakan petani kopi arabika, sehingga ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan ini menjadi salah satu sentra produksi kopi. Dengan areal seluas 1.405 hektare pada tahun 2019 dan tingkat produksi sebanyak 689 ton per tahun, geliat perekonomian masyarakat Sipirok selalu dinamis.
Tingginya tingkat produks kopi arabika Sipirok mendorong munculnya banyak pedagang pengumpul kopi. Menjadi pengumpul kopi merupakan mata pencaharian baru bagi masyarakat Sipirok, dan mereka ikut terdampak Covid-19.
Beberapa pedagang pengumpul mengaku, mereka membatasi pembelian kopi arabika karena para pengekspor yang selama ini membeli kopi mereka mutuskan mengurangi kuota pembelian. Pasalnya, sejumlah negara tujuan ekspor kopi menutup diri, dan banyak kopi arabika yang tertahan di gudang.
"Situasi ekonomi menjadi penyebabnya. Permintaan rendah, harga kopi arabika jadi anjlok," kata Komeng Pane, pedagang pengumpul di Pasar Kelurahan Sipirok. "Semua komoditas dibatasi, bukan hanya kopi arabika."
Komeng berharap, persoalan ini mendapat perhatin serius dar pemerintah daerah. Jika dibiarkan, ekonomi masyarakat akan ambruk. "Saya khawatir masyarakat akan menelantarkannkopinya," katanya.
Penulis: Budi Hutasuhut
Editor: Efry Nasaktion
Posting Komentar