Wangi Bunga di Pemakaman Jamil

Cerpen Oleh: Ilham Wahyudi



Lantunan doa berkumandang di rumah orang tua Jamil. Banyak pelayat tak menyangka Jamil begitu cepat menghadap Sang Pengadil. Begitu pula kedua orang tua Jamil—terkejut tak percaya. Tadi subuh selepas orang pulang salat di masjid, Jamil masih tampak segar bugar menggerakkan tubuhnya di halaman rumah. Jamil memang rajin olahraga, meski kesehariannya lebih sering menenggak minuman keras.

Minum miras bagi Jamil sudah seperti minum air putih. Ia tak ragu mengganti air putih dengan miras sehabis makan berat. Pagi-pagi sebelum sarapan—Jamil tak gentar menghadiahkan lambungnya dengan miras. Bendera putih pun dikibarkan orang tua Jamil: pasrah pada semua kelakuan Jamil. Hanya doa yang mereka andalkan—semoga Jamil berubah suatu saat nanti. Tapi sayang, Jamil keburu menghadap.

Kebiasaan Jamil bermula setelah ia patah hati pada seorang gadis yang tak lain atasan Jamil sendiri. Marlina namanya. Cinta Jamil kepada Marlina bukan hanya bertepuk sebelah tangan. Lebih parah daripada itu: Marlina sama sekali tidak menganggap Jamil. Sungguh membuat hati Jamil hancur serupa kerupuk ditelan hujan.

Maka, hari-hari selanjutnya adalah mabuk dan bergumul sampai pagi dengan siapa saja yang mencintai isi kantong Jamil—bukan hati Jamil. Habis sudah semua tabungan Jamil yang susah payah ia kumpulkan.

Jamil sebenar sakit. Ia telah bersumpah akan terus minum dan bergumul di ranjang sampai ajal menjemput. Sumpah itu pun akhirnya sungguh terwujud.

“Kapan meninggalnya?” tanya seorang pelayat.

“Tadi pagi sebelum sarapan tiba-tiba menggelepar setelah menenggak miras,” jawab pelayat lain.

“Berarti mati saat minum miras?” tanya pelayat lain pula penasaran.

“Sudah! Tak baik menceritakan orang yang sudah meninggal!” jawab seorang pelayat paruh baya.

Para pelayat hening.

Sementara itu, di sebuah dimensi yang lain, dimensi yang tak pernah bisa dijangkau manusia, sekelompok makhluk tampak bersorak gembira. Seperti sedang merayakan kemenangan dari sebuah pertempuran.

“Hore... Aku berhasil! Aku akan naik pangkat dan akan mendapatkan tantangan yang lebih hebat lagi.”

“Kau memang berbakat. Tentu akan dipromosikan. Untuk itu, kau harus menyiapkan rencana dan strategi yang lebih jitu,” kata salah satu senior makhluk yang bersorak gembira itu.

“Tapi apakah aku harus memastikan cucu Adam itu benar masuk jahanam?” tanya makhluk yang baru saja berhasil membuat seorang cucu Adam mati dalam kondisi su’ul khatimah.

“Benar! Sebab tiket tantangan itu hanya keluar kalau cucu Adam yang kau goda valid masuk jahanam.”

“Baiklah, aku akan menunggu di pintu jahanam, memastikan kerjaku berhasil.”

“Pergilah!”

Makhluk itu pun bergegas menuju pintu jahanam.

Ritual memandikan jenazah selesai, dan jenazah Jamil siap disalatkan.

Pelayat yang datang tampak semakin ramai. Padahal sedang pandemi, tidak boleh ada kerumunan manusia. Selain itu, orang tua Jamil juga bukan pejabat atau pengusaha kaya raya. Sungguh kehadiran pelayat yang begitu ramai terasa cukup janggal. Jamil pun bukanlah tipe anak gaul. Tapi mengapa pelayat yang datang berjibun?

Keluarga serta tetangga Jamil banyak yang tak mengenal para pelayat itu. Anehnya lagi, saat jenazah Jamil dimasukkan ke liang lahat, orang-orang yang tak dikenal itu semakin banyak jumlahnya. Keluarga dan tetangga Jamil pun semakin terheran-heran. Siapakah mereka? Dan mengapa pakaian mereka serba putih?


Di pintu jahanam, makhluk yang bersorak gembira itu melihat seorang cucu Adam digiring ke mulut jahanam. Hatinya gembira. Ia menebak itu pasti si Fulan yang su’ul khatimah. Tetapi saat ia mendekati, dugaannya keliru. Ia terkejut, kemudian bertanya kepada malaikat penjaga jahanam.


“Maaf malaikat, sebelum ini adakah cucu Adam yang lain diseret ke jahanam?” tanya makhluk itu resah.

“Tidak, kenapa?” jawab malaikat.

“Aku ingin memastikan cucu Adam yang kuperdaya sudah masuk ke jahanam,” mahkluk itu menjelaskan.

“Apa urusanmu? Tugasmu kan hanya menggoda. Soal mereka masuk atau tidak bukan urusanmu!” jawab malaikat itu mulai kesal.

“Tapi kali ini urusanku! Karirku tergantung cucu Adam itu,” jawab mahkluk itu.

“Pertanyaanmu sudah aku jawab. Kalau tidak lagi ada yang penting, sebaiknya kau pergi! Atau jangan-jangan kau mau masuk ke dalam jahanam?” kata malaikat kesal.

Makhluk itu ciut. Tentu saja ia tidak ingin masuk ke dalam jahanam lebih dulu—meskipun ia tahu akan masuk ke dalam jahanam kelak. Tapi tentu saja bukan sekarang! Tidak ingin malaikat penjaga itu menyorongnya ke dalam jahanam, makhluk itu pergi meninggalkan pintu jahanam.

Putus asa, mahkluk itu berniat menemui seniornya untuk berkonsultasi.

Sepanjang jalan, muncul pertanyaan dalam pikirannya: mengapa cucu Adam yang ia goda tidak masuk jahanam? Bukankah dia mati dalam kondisi berbuat dosa? Dan yang membuat ia semakin heran, tak sekalipun sepanjang ingatannya cucu Adam itu pernah berbuat baik. Bahkan sekadar memberi uang receh kepada pengemis pun tidak. Kecuali memberi tip kepada wanita-wanita yang sudah ditidurinya, makhluk itu memang sering melihatnya.

“Seniorku, apakah cucu Adam yang sepanjang hidupnya berbuat dosa tidak lantas masuk jahanam?” tanya makhluk itu spontan ketika sampai di kediaman seniornya.

“Seharusnya langsung masuk. Sebentar, dari mana kau tahu cucu Adam yang kau goda tidak masuk jahanam. Mungkin saja sudah masuk sebelum kau datang?” senior makhluk itu balik bertanya.

“Aku sudah bertanya kepada malaikat penjaga jahanam,” kata makhluk itu gusar.

“Oke, kalau begitu kau ikut aku!”

“Ke mana, seniorku?”

“Sudah, ikut saja!”

Dua makhluk itu pun pergi ke sebuah tempat.

“Salam ya salam malaikat pencabut nyawa. Bolehkah aku bertanya tentang suatu hal?” tanya senior mahkluk itu.

“Apa itu wahai makhluk penggoda?” jawab malaikat pencabut nyawa.

“Bukankah setiap cucu Adam yang su’ul khatimah dan sepanjang hidup berlumur dosa akan langsung masuk jahanam?”

“Ya, benar.”

“Tapi mengapa si Fulan bin Fulan tidak masuk?” tanya senior makhluk itu penasaran.

“Belum ada perintah untuk itu.”

“Loh, mengapa harus pakai perintah kalau jahanam dan firdaus sebuah konsekuensi perbuatan cucu Adam selama di dunia?”

“Kau memang makhluk yang sombong. Merasa paling tahu. Paling pintar...”

“Maksudnya?”

“Kau dan bangsamu memang makhluk yang sombong. Firdaus atau jahanam itu bukan urusan makhluk. Itu urusan Tuhan! Untuk apa kau pertanyakan sesuatu yang bukan urusanmu?”

“Tapi Tuhan sudah mengatakan kalau aku dan bangsaku mampu menggoda anak cucu Adam, jahanamlah ganjaran mereka. Dan mereka kelak akan menemani kami,” jawab senior makhluk itu mulai emosi.

“Sudah aku katakan, itu bukan urusan makhluk. Firdaus dan jahanam itu hak prerogatif Tuhan. Jangan lancang campuri urusan Tuhan!”

“Tidak adil! Aku akan menuntut Tuhan,” kata senior makhluk itu.

“Tidak adil? Tahu apa kau tentang keadilan?” jawab malaikat pencabut nyawa.

Makhluk penggoda itu terdiam.

“Pergilah! Kerjakan saja tugas kalian!” perintah malaikat pencabut nyawa.

“Baik, kami akan pergi. Tapi kami akan protes kepada Tuhan. Dan sebelum protes kami didengar, kami akan mogok menggoda cucu Adam,” ancam senior makhluk penggoda itu, lalu pergi.

Pelayat berpakaian serba putih tampak semakin ramai. Jumlahnya terus bertambah. Area pemakaman Jamil terlihat bagai hamparan awan putih karena keberadaan mereka.

Pelan-pelan dari dalam tanah yang telah sempurna memeluk jasad Jamil, menyeruak wangi bunga. Wangi yang menusuk-nusuk hidung; yang memanggil-manggil siapa saja untuk datang ke pemakaman Jamil.

Akasia 11CT.




Ilham Wahyudi
lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia seorang juru antar makanan di DapurIBU dan seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur. Buku kumpulan cerpennya “Kalimance Ingin Jadi Penyair” akan segera terbit. 

Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes